DI TENGAH emak-emak ribut soal harga tabung gas ‘melon’ susah dicari, hingga melambung tinggi, memasak dengan cara tradisional saat ini masih jadi solusi. Buktinya, tungku gerabah produksi warga Desa Bayanan Kecamatan Daha Selatan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS) masih banyak menerima permintaan konsumen.
Muhammad Hidayat, Daha Selatan
PROGRAM konversi minyak tanah ke gas elpiji dari pemerintah dengan memberikan kompor dan tabung gas tiap rumah, ternyata tidak membuat produksi tungku dapur tradisional atau gerabah di Desa Bayanan, habis masanya.
Tiap 3 hari sekali, pengepul datang mengambil dapur gerabah sudah jadi, didistribusikan ke berbagai daerah di Kalimantan, seperti ke Kabupaten Banjar, Tanah Laut, Banjarmasin hingga provinsi tetangga seperti Kalteng dan Kaltim. Untuk memenuhi permintaan konsumen, pembuat tungku gerabah harus ‘kejar tayang’.
Baca Juga: Misteri Sarang Walet Ghaib Di Gua Ranuan, Berani Mengambil Nyawa Taruhannya
Diana, adalah salah satu pengusaha tungku yang saya temui di Desa Bayanan. Ia terlihat sangat lihai mengayunkan tangan dan jemarinya menempa tungku gerabah. Pantas saja, ia sudah menggeluti usaha cetak tungku gerabah lebih 15 tahun.
Proses pembuatan yang cukup panjang, yakni 3 hari. Dibantu kerabatnya sejak awal pembuatan, Diana mengungkapkan, tanah liat yang merupakan bahan utamanya, harus yang bersih, tidak bercampur batu, kerikil ataupun lainnya agar hasil tungku gerabah bagus dan tidak mudah retak.
Baca Juga: Ahli Thoriqat Asal Takisung, Tuan Guru Muhammad Nur (5); Berdizikir Dalam Keadaan Tidur
Rp 3.500 per blek tanah liat atau Rp 35.000 per jukungnya, ia beli dari warga setempat. Nominal itu belum include biaya pengiriman darat dari jembatan Bayanan ke lokasi pencetakan, yaitu Rp20.000.
Dalam 3 hari Diana biasanya mencetak 50 tungku gerabah. 50 tungku itu dikatakan Diana, menghabiskan 5 blek tanah liat. Dari penjualan 50 tungku itu Diana meraup hasil kotor Rp 150.000 atau Rp 3.000 per-satu tungku. Kok, murah sekali? Padahal di pasaran Rp 15.000! Begini ceritanya.
Proses pertama pengadukan tanah liat dengan cara diinjak-injak, sekitar setengah jam. Jika tanah liat sudah halus dan lembut sehingga mudah dicetak. Di tahap pengadukan ini cukup menguras tenaga, sehingga tak jarang membuat si penginjak meneteskan keringat.
Setelah itu, masuk ke tahap pencetakan pertama. Cetakan awal berbentuk setengah kapsul, kemudian dikeringkan lebih satu jam sampai mengeras. Setelah itu baru tahap finishing merapikan bentuknya agar terlihat menarik. Selanjutnya diolesi tanah liat lagi di seluruh bagian dan dibentuk rapi.
Selesai tahap pencetakan, baru dijemur di terik matahari. Kali ini menghabiskan waktu lima jam. Usai dijemur, tungku dijual kepada pihak selanjutnya yang melakukan proses akhir, yaitu pembakaran.
Nah, di sini lah tungku gerabah dihargai Rp 3.000. Ini karena Diana hanya memproses sampai tahap pencetakan. Sebab kata Diana, pada tahap pembakaran sudah ada yang membidangi dan itu memerlukan beban lain lagi.
Selesai tahap akhir pembakaran, jadilah sebuah tungku gerabah siap jual ke pasaran. Satu buah dihargai Rp 7.000 oleh pengepul. Jika sampai ke tangan konsumen, biasanya dijual Rp 15.000 ribu. Ini harga di pasar Kandangan, entah jika di luar Kandangan.
“Saat musim panas bersyukur bisa menjemur, bahkan sampai keteteran mecetaknya, disamping juga cepat lakunya. Sebab harus setiap hari mencetak, tidak bisa ditinggalkan, tanah liat akan mengeras bila dibiarkan lama tak dicetak,” tutur Diana sambil mengolesi cetakan tungku gerabah.
Tetapi, celaka saat musim hujan tiba, proses penjemuran dikatakannya sangat terganggu. Sehingga akan sulit memenuhi permintaan pelanggan. “Saking sulitnya saat musim hujan tiba, bahkan sampai modal bisa habis untuk biaya hidup sehari-hari,” ucapnya.
Apabila terkendala operasional atau pemasaran, bisa dipastikan produksi tungku gerabah juga akan bermasalah. Tetapi sampai hari ini, semua kendala bisa dilewati oleh pengrajin gerabah.
Kendati banyak permintaan, namun dengan harga jual yang murah, Diana merasa untuk membiayai hidup masih dirasa pas-pasan, bahkan kadang-kadang kurang.
Sekarang, tidak hanya tungku dapur yang diproduksi warga Desa Bayanan, ada yang membuat celengan hias, bahkan hiasan-hiasan rumah berbentuk unik dan menarik dengan pewarnaan cantik. Dengan inovasi pengrajin, gerabah saat ini sudah diidentikkan dengan celengan dan aneka hiasan. Tak lagi seperti zaman dahulu, identiknya hanya tungku memasak.
Sepertinya, meski program pemerintah dahulu mengonversi bahan bakar kayu ke minyak tanah kemudian beralih lagi ke gas elpiji sebagai solusi menyejahterakan rakyat, nyatanya emak-emak malah diributkan soal kelangkaan dan melambungnya gas ‘melon’.
Dengan demikian, sebagian masyarakat harus kembali ke zaman dahulu, zaman di mana memasak mengunakan kayu bakar, sebagai jalan keluar. Dengan percaya diri, Diana mengaku akan terus bertahan menjadi pencetak tungku dapur konvensional. (*)