Habib Ali bun Muhammad Al Habsyi lahir pada Jumat dan mendapat pesan kewalian sejak masa kanak-kanak. Patuh kepada orang tua, dan seorang pengelana ilmu hingga Makkah. Pendiri Pesantren pertama di Hadramaut, dan penggubah Simthut Durar, yang banyak dilantunkan Muhibbin. Sejak kecil Habib Ali Al Habsy senantiasa didoakan ibunya agar menjadi seorang yang mulia, baik di dunia maupun akherat.
Seorang bayi lelaki lahir di sebuah Desa Tarim, Hadramaut, sekitar 167 tahun lalu, pada hari Jumat tanggal 24 Syawal 1259 H / 1839 M. Ketika sang bayi lahir, ayahnya, Habib Muhammad bin Husein Alhabsyi, sedang menghadiri majelis ilmu di kediaman gurunya, Habib Abdullah bin Husein bin Thahir. Habibah Alawiyah binti Husein bin Ahmad Al-Hadi Al-Jufri, ibu anak tersebut, dengan segera mengirim utusan untuk menyampaikan kabar gembira kepada suaminya tercinta.
Mendengar berita ini, semua turut bahagia, bahkan Habib Abdullah bin Husein bin Thahir secara spontan berkata, “Duhai Muhammad, namakanlah putramu, Ali, dia akan mewarisi kewalian Habib Ali bin Alwi Kholiq Qasam.”
Siapa Habib Ali bin Alwi Kholiq Qasam?
Masyarakat Hadramaut mengenal betul ia memiliki banyak karomah. Salah satunya ucapan salamnya kepada Nabi Muhammad SAW di dalam tasyahud, konon, dijawab langsung oleh Nabi dan jawaban salam itu terdengar olehnya dan seluruh makmum yang salat bersamanya. Nah, bayi tersebut diberi nama Ali, dengan harapan dia mampu mewarisi kewalian Habib Ali bin Alwi dan menjadi pewaris Nabi.
Lahirnya Habib Ali di hari Jumat bukanlah tanpa arti, tapi ketetapan Allah, Yang Maha Mengetahui. Hari Jumat merupakan hari yang utama. Rasulullah bersabda, “Hari Jumat merupakan hari yang paling mulia.” Seakan-akan Allah ingin menunjukkan kepada dunia, kelak sang bayi akan menjadi pemimpin mereka, sebagaimana hari Jumat menjadi pemimpin hari-hari lainnya. Memang di kemudian hari terbukti ia menjadi orang besar di tengah masyarakat.
Ketika ia berusia 7 tahun, ayahnya pindah ke Makkah dan menetap di sana, demi menunaikan perintah gurunya. Ayah yang penuh cinta ini tak tega membawa Habib Ali yang masih kecil untuk mengarungi padang sahara yang ganas. Ia meminta istrinya tetap tinggal di Qasam untuk mengasuh Habib Ali. Dengan penuh cinta Habibah Alawiyah mendidik, mengasuh dan mendoakan putranya. Mereka selalu bersama, dalam suka maupun duka.
Ibunya Rido
Sejak kecil, kewalian Habib Ali sudah tampak. Suatu malam, jubahnya tertinggal di Masjid Jami Kota Qasam. Menjelang tidur barulah ia teringat pada jubahnya itu. Habib Ali yang masih sangat kecil, segera pergi ke masjid ditemani ibunya. Sesampainya di sana, ia tak menemukan jubahnya. Tak lama kemudian, tiba-tiba salah satu tiang masjid di sampingnya terbelah dengan suara menggelegar dan dari dalamnya muncul sosok pria yang masih muda dan berkata, “Wahai Ali, ambillah pakaianmu ini. Ketika kulihat ia tertinggal, aku segera menyampaikannya untukmu.”
Ia pun segera mengambil jubahnya dan bergegas menemui ibunya yang menunggu di luar masjid. Peristiwa itu ia ceritakan kepada ibunya, sang ibu kemudian bertanya kepada putranya yang masih kecil itu, “Apakah kau tidak merasa takut?”
“Tidak,” jawab Habib Ali dengan mantap.
Jauh dari ayah dan sanak kerabat, bersama ibu yang mengasuhnya membawa hikmah tersendiri bagi Habib Ali. Sang ibu semakin cinta dan senantiasa mendoakannya.
Habib Ali berkata, “Ibuku sering mendoakanku dengan doa berikut ini, “Ya Allah, muliakanlah kedudukan anakku Ali di dunia dan di akhirat nanti.”