Doa Ibunda Habib Ali Al Habsyi yang Mustajab Dan Cinta Dahsyat Melatarbelakangi Kitab Simthut Durar

Habib Ali bin Muhammad Al Habsyi, Pengarang Kitab Maulid Habsyi Simthut Durar. (foto: sufiz.com)
Habib Ali bin Muhammad Al Habsyi, Pengarang Kitab Maulid Habsyi Simthut Durar. (foto: sufiz.com)

Demikian pula dengan Habib Ali, dengan sepenuh hati, ia mencintai dan menyayangi ibunya. Ia berkata, “Ketika ibuku masih hidup, aku tidak merasa memiliki uang walau hanya satu dirham, bahkan aku yakini bahwa harta dan segala sesuatu yang kumiliki adalah miliknya. Demi Allah, andaikata ibuku ingin menjualku ke pasar sebagai budak, aku akan mengaku sebagai budaknya dan akan kupenuhi permintaannya.”

Cinta Ibunya kepada Habib Ali, putranya yang selalu menemani, semakin besar. Habib Ali berkata, “Suatu hari, Habib Idrus bin Umar dan sejumlah kekasih Allah lainnya menyelenggarakan sebuah majelis di rumah ibuku. Tiba-tiba dengan kemauannya sendiri, secara spontan ibuku berkata, “Wahai hadirin, kujadikan kalian sebagai saksi di hadapan Allah kelak, sesungguhnya aku meridlai Ali anakku, saksikanlah bahwa aku rido kepada anakku Ali, saksikanlah bahwa tidak pernah menyalahiku dalam segala hal.”

Mendengar ucapan ibuku, akupun bersyukur, dan segera berkata hadirin yang berada di situ, saksikanlah keridoan ibuku ini. Sebab di hari kiamat nanti, aku akan meminta kalian menjadi saksi.”

Keridoan Allah terletak pada kepada keridlaan kedua orangtua. Sungguh beruntung Habib Ali, karena ayah bundanya selalu rido kepadanya. Doa dan bimbingan ibunya menampakkan hasil.

Dengan cepat Habib Ali mampu menguasai berbagai ilmu yang diajarkan kepadanya, hingga sejumlah ulama menyarankan kepada ayahnya untuk memerintahkan Habib Ali pindah ke kota Seiwun guna memperdalam ilmunya di sana.

Akhirnya, saat berusia 12 tahun, atas perintah ayahnya, Habib Ali bersama ibunya pindah ke Seiwun, meninggalkan tanah kelahirannya. Selama 6 tahun dengan gigih Habib Ali menuntut ilmu di Seiwun. Sang ayah yang tak tahan menahan gelora rindu, meminta Habib Ali datang ke Makkah dan menuntut ilmu di sana. Meskipun berat berpisah dengan buah hatinya, Habib Ali segera memenuhi permintaan ayahnya. Ia pun segera berangkat ke Makkah dan belajar di sana. Saat itu ia baru berusia 17 tahun.

Inilah kali pertama ia berpisah dengan ibunya. Setibanya di Makkah, ia di didik secara langsung oleh ayahnya, yang ketika itu menjabat sebagai mufti Makkah selama 11 tahun menggantikan Syekh Ahmad Dimyati. Di sana bersama dengan kakaknya, Husein, dan yang lain, ia belajar dengan penuh kesungguhan.

Habib Husein, kakak Habib Ali, adalah salah satu guru KH Hasyim Asy’ari, pendiri NU. KH Hasyim pernah berguru kepadanya selama kurang lebih 6 tahun di tanah suci Makkah. Hal ini dapat kita saksikan dalam kitab Tasniful Asma, karya Syekh Yasin Al-Fadani.

Ketika Habib Ali sibuk menuntut ilmu di kota Makkah, ibunya selalu berdoa agar ia segera dipertemukan kembali dengan putranya. Berkat doa ibunya, hanya dalam waktu 2 tahun, Habib Ali telah dinyatakan lulus oleh ayahnya, yang mufti Makkah itu. Saat usia Habib Ali sudah 19 tahun. Dengan perasaan senang dan gelora rindu yang menggebu dalam hatinya, Habib Ali kembali ke Seiwun. Kedatangan Habib Ali pun disambut penuh suka cita oleh ibunya. Sesampainya di kampung halamannya, ia segera berdakwah tak kenal lelah, siang dan malam ia menyampaikan ajaran Nabi Muhammad SAW.

Pendekatan Belas Kasih

Dalam berdakwah Habib Ali menggunakan rahmat, belas kasih dan cinta, menghindarkan permusuhan dan persaingan, menghapuskan iri dengki, dan tidak mengganggu obyek dakwah. Ia meneladani ayahnya, seorang pakar dalam dunia dakwah. Jika menyimak salah satu metode dakwah Habib Muhammad bin Husein, kita yang hidup di zaman modern dan memiliki segala fasilitas ini akan merasa ketinggalan. Habib Muhammad memiliki metode yang jauh lebih maju dari kita semua.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *