Tak Berkategori  

Di Tempat Yang Dicintainya, Mbah Moen Wafat Saat Hendak Salat Tahajud

JAKARTA, koranbanjar.net – Kiai sepuh Nahdlatul Ulama (NU) KH Maimun Zubair atau yang kerap disapa Mbah Moen, meninggal dunia di Makkah, Selasa (6/8/2019) pagi.

Pimpinan Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang, Rembang itu tutup usia saat hendak melaksanakan salat Tahajud. Mbah Moen diketahui sedang melaksanakan ibadah Haji di Mekkah, Arab Saudi.

“Beliau mau Tahajud, selesai wudhu, lalu tidak sadarkan diri,” ujar Ustad Solmed, seperti dikutip tempo.co, Selasa, (6/8/2019).

Setelah tak sadarkan diri, Kiai Maimoen dibawa ke Rumah Sakit Annur, Mekkah, Arab Saudi.

“Setelah dibawa ke rumah sakit, beliau wafat kurang lebih jam 4.17 waktu Saudi menjelang subuh,” ujar Ustad yang bernama asli asli Sholeh Mahmoed Nasution itu, ketika dihubungi Tempo sedang berada di rumah sakit menunggu jenazah Kiai Moen.

Kemudian, Mahfud MD menyebut Mbah Moen meninggal di tempat yang almarhum cintai, yakni Mekkah.

Ia mengatakan, Mbah Moen meninggal pukul 08.17 WIB. Mahfud mendapat kabar duka tersebut melalui orang terdekat Mbah Moen.

“Inna lillah wa innaa ilaihi raji’un. Kyai Maimoen Zubeir (Mbah Moen) wafat di tanah suci Makkah jam 8.17 WIB tadi. Beliau wafat di tempat yang dicintainya. Saya mendapat kabar langsung berita ini dari Pak Supri, salah seorang terdekat Mbah Moen,” tulis Mahfud MD di Twitter.

Twitter Mahfud MD
Tangkapan layar cuitan Mahfud MD di Twitter.

Mbah Moen merupakan putra Kiai Zubair, Sarang, seorang alim dan faqih. Ayahnya merupakan murid dari Syaikh Saíd al-Yamani serta Syaikh Hasan al-Yamani al-Makky.

Basis pendidikan agama Mbah Moen sangat kuat dipengaruhi dari orang tuanya. Dia meneruskan pendidikan mengajinya di Pesantren Lirboyo, Kediri, di bawah bimbingan Kiai Abdul Karim. Selain itu, selama di Lirboyo, Mbah Moen juga mengaji kepada Kiai Mahrus Ali dan Kiai Marzuki.

Mbah Moen lahir di Rembang pada 28 Oktober 1928, bertepatan saat Sumpah Pemuda diikrarkan. Mbah Moen mulai belajar ke Makkah pada usia 21 tahun. Saat itu dia didampingi oleh kakeknya sendiri, yakni Kiai Ahmad bin Syuaib.

Di Makkah, mbah Moen mengaji kepada Sayyid Alawi bin Abbas al-Maliki, Syekh al-Imam Hasan al-Masysyath, Sayyid Amin al-Quthbi, Syekh Yasin Isa al-Fadani, Syekh Abdul Qodir al-Mandaly dan beberapa ulama lainnya.

Mbah Moen juga mengaji ke beberapa ulama di Jawa. Beberapa di antaranya kepada Kiai Baidhowi, Kiai Ma’shum Lasem, Kiai Bisri Musthofa (Rembang), Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Muslih Mranggen (Demak), Kiai Abdullah Abbas Buntet (Cirebon), Syekh Abul Fadhol Senori (Tuban), dan beberapa kiai lain.

Mbah Moen juga menulis kitab-kitab yang menjadi rujukan santri. Di antaranya, kitab berjudul al-Ulama al-Mujaddidun.

Selepas kembali mengaji dengan beberapa kiai, Mbah Moen kemudian mengabdikan diri untuk mengajar di Sarang, di tanah kelahirannya. Pada 1965, Mbah Moen kemudian istiqomah mengembangkan Pesantren al-Anwar Sarang. Pesantren ini, kemudian menjadi rujukan santri untuk belajar kitab kuning dan mempelajari turats secara komprehensif.

Di bidang politik, dia menjabat sebagai Ketua Majelis Syariah Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Dia juga pernah menjadi anggota DPRD kabupaten Rembang selama 7 tahun.

Begitu selesai masa tugasnya, Mbah Moen mulai berkonsentrasi mengurus pondoknya yang baru berdiri selama sekitar tujuh atau delapan tahun. Namun tenaga dan pikirannya masih dibutuhkan oleh negara. Mbah Moen diangkat menjadi anggota MPR RI utusan Jateng selama tiga periode. (dra)