Oleh
Dewan Redaksi, Denny Setiawan
Pernah nggak memperhatikan agenda para anggota DPR maupun DPRD yang sering melakukan kunjungan kerja (studi banding) ke luar daerah. Setahu saya, para anggota DPR/DPRD itu melakukan studi banding ke luar daerah antara 1 sampai dengan 4 kali dalam satu minggu. Kalau dikalkulasi, mereka melakukan studi banding antara 4 sampai dengan 12 kali dalam 1 bulan.
Coba hitung, jika dijumlah rata-rata dalam 1 bulan 8 kali, kemudian dalam satu DPRD minimal 40 orang, belum termasuk pendamping dari staf DPRD yang melakukan studi banding. Yah, minimal sebanyak 45 orang dalam satu kali keberangkatan studi banding.
Itu artinya, pemerintah menyiapkan anggaran pembelian tiket pesawat pulang pergi untuk 45 orang, akomodasi atau penginapan di hotel minimal untuk 22 kamar, taruhlah 1 kamar untuk 2 orang. Semua itu, belum termasuk uang saku, biaya transportasi darat dan lain-lain. Terlebih fasilitas pimpinan DPRD, beserta uang saku dan biaya transportasi darat juga lebih tinggi.
Jika studi banding itu dikalkulasi dengan jumlah agenda dalam 1 bulan, tinggal dikalikan. Tidak mengherankan anggaran yang tersedot untuk studi banding (kunker) anggota DPRD/DPR itu sangat besar.
Saya coba hitung secara sederhana, contoh anggaran studi banding anggota DPRD minimal Rp4.000.000 per orang dikali 45 orang berjumlah Rp180 juta untuk satu kali studi banding.
Andaikan 8 kali dalam 1 bulan, maka jumlahnya mencapai Rp1,4 miliar. Kemudian, jika studi banding dilakukan terus menerus selama 1 tahun (12 bulan), berarti alokasi anggaran Rp1,4 miliar x 12 kali = Rp17,2 miliar. Bayangkan, hanya untuk studi banding alias kunjungan kerja, pemerintah menyiapkan anggaran sebesar Rp17,2 miliar. Bukankah itu angka yang fantastis?
Lantas, setelah para wakil rakyat yang terhormat itu ‘plesiran’ ke banyak daerah, pulang dari ‘plesiran’ itu pernahkah mereka menyampaikan hasil setiap studi banding itu secara resmi, kemudian menerapkan di daerah masing-masing?
Sementara di daerah-daerah pemilihan mereka, masih banyak masyarakat yang tidak bisa beli gas elpiji karena kemahalan, hidup di bawah garis kemiskinan, masih banyak anak-anak yang putus sekolah karena ketiadaan biaya, tak mampu berobat karena tidak sanggup membayar BPJS dan masih banyak persoalan yang telah dihadapi masyarakat lemah. Apakah para anggota dewan itu masih punya hati nurani?
Mestinya, mereka punya hati nurani dalam bersepakat mengajukan anggaran studi banding itu? Mestinya mereka lebih memikirkan masyarakat yang mempercayakan diri untuk minta wakili.
Mengamati kebiasaan para anggota dewan yang terhormat sering ‘plesiran’ ke banyak daerah, saya berfikir, mengapa para anggota dewan itu tidak mengalihkan alokasi anggaran untuk kunjungan kerja ke desa-desa. Saya pikir, dengan anggaran yang tersedia itu, para anggota dewan dapat mengunjungi masyarakat ke desa-desa setiap hari. Kalau itu yang dilakukan, saya meyakini, hasilnya pun akan sangat dahsyat dirasakan masyarakat.
Misal saja, anggaran studi banding sebesar Rp17,2 miliar per tahun dialihkan untuk kunjungan ke desa-desa, 50 persen untuk anggaran kunjungan anggota dewan, 50 persen untuk desa yang dikunjungi.
Artinya, para anggota dewan tetap mendapatkan alokasi anggaran kunker ke desa-desa sebesar Rp8,6 miliar per tahun, kemudian desa-desa kembali mendapatkan cadangan anggaran untuk mengatasi persoalan darurat sebesar Rp8,6 miliar. Nah, contoh di salah kabupaten memiliki 290 desa, berarti anggaran Rp8,6 miliar dapat dibagi untuk 290 desa masing-masing mendapatkan Rp29 juta.
Selain desa-desa mendapatkan anggaran cadangan untuk mengatasi persoalan yang darurat, komunikasi para anggota dewan dengan masyarakat akan semakin harmonis, semakin dekat, dan tidak ada kesan anggota dewan datang hanya saat menjelang Pileg. Mestinya, hal-hal begini yang dipikirkan pemangku kebijakan, badan anggaran DPRD, dan orang-orang yang memang memiliki hati nurani untuk mensejahterakan masyarakat, bukan hanya memikirkan isi perut sendiri. (*)