BANJARBARU, koranbanjar.net – Petani pembakar jerami, membuat dilema para satuan tugas kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Sebelumnya, Kepala Pelaksana BPBD Kalsel Wahyuddin mengungkapkan belum mendapatkan solusi alternatif untuk penanganan tersebut. Sebab jika petani berhenti membakar jerami maka pupuk yang dihasilkan menurun, sedangkan disisi lain pupuk tersebut merupakan sumber pendapatan para petani sehari-hari.
Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Kalsel Ir. Syamsir Rahman mengakui pihaknya memiliki solusi jangka pendek.
“Solusi tersebut yakni kita sudah membuat surat imbauan kepada seluruh Kabupaten Kota agar jangan ada pembakaran lahan atau jerami. Jika petani ingin membuka atau membakar lahan, harus izin ke petugas setempat terlebih dahulu. Agar bisa dijaga pada saat pembakaran jerami sehingga tidak merembet kemana-mana,” ujarnya kepada koranbanjar.net, saat ditemui di kantornya, Kamis (24/10/2019) siang.
Dijelaskannya, supaya tidak dibakar jerami dipotong paling bawah. Kemudian, dilakukan pengolahan lahan dengan menggunakan traktor dan perlu diberi pupuk hayati.
“Tapi kalau di potong paling atas, nanti dia bakar dan menghasilkan pupuk dan hama tidak datang itu yang disebut kearifan lokal, tanpa beli pupuk hayati dan herbisida. Sedangkan jika tidak di bakar, maka hasil produktifitasnya akan menurun secara signifikan,”tuturnya.
Menurutnya, pembakaran jerami ini cara mudah yang dilakukan para petani sebab dianggap efektif dan gratis ya itu fakta di lapangan. Dikarenakan jika tidak dibakar maka perlu biaya yang mahal membeli pupuk cair seharga Rp.400 ribu perliter.
“Kalau tidak dibakar tapi tetap mau produktifitasnya tidak turun ya bisa saja sebenarnya, tapi apakah semua para petani mau membeli sendiri pupuk tersebut jika tidak ada bantuan. Kami ini juga dilema,”tegasnya.
Dilema yang dimaksud, lanjutnya, kita tidak bisa memberikan pengolahan lahan yang maksimal seperti peralatan, herbisida.”Tujuan pembakaran oleh petani untuk melindungi sawah dari hama, memusnahkan tikus sampai ke dalam tanah, terjaga dari hama yang akan datang pada saat mulai bertanam, dan lahan menjadi lebih subur secara alami. Petani kita bukan petani seperti di luar negeri yang memiliki kesejahteraan tinggi, menggunakan peralatan lebih modern serta pupuk yang sangat bagus, sedangkan kita masih terbatas,”imbuhnya.
Syamsir mengaku tak menampik jika petani pembakar lahan persawahan menjadi penyebab kabut asap yang terjadi saat ini.
“Kondisi kita saat ini musim kemarau panjang, tiap tahun kita alami. Titik kebakaran lahan banyak, ada rawa lebak dan rawa pasang surut. Paling berpotensi terbakar cepat juga lahan gambut, karena biasanya petani jarang ada di lahan gambut atau jarang dijaga. Inilah masalahnya, jangan sampai disatu sisi petani membakar lahan dengan space kecil guna mengisi perutnya ditangkap, kemudian lahan terbakar luas yang tak dijaga tapi pemiliknya dibiarkan,”bebernya.
Sebagaimana diketahui, ada peraturan yang memperbolehkan membakar hutan dan lahan. Yakni pada Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 10 Tahun 2010 tentang Mekanisme Pencegahan Pencemaran dan atau Kerusakan Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan (“Permen LH 10/2010”).
Bunyi Pasal 4 ayat (1) Permen LH 10/2010 :
Masyarakat hukum adat yang melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimum 2 (dua) hektar per kepala keluarga untuk ditanami jenis varietas lokal wajib memberitahukan kepada kepala desa. (ykw/maf)