Siapkah Kita Menghadapi New Normal?

Oleh: Rafii Syihab


NEW normal atau kenormalan baru belakangan menjadi kata yang sering berseliweran di berbagai media —ia tak ubahnya lockdown atau PSBB yang lebih dulu menghantui kita, manusia yang kepalang bosan menghadapi Covid-19. Sebagaimana juga lockdown dan PSBB, kepada new normal kita menaruhkan harapan, sekali lagi, untuk hidup nyaman yang begitu kita rindukan.

Hal pertama yang saya ingat ketika virus corona mulai menyebar adalah novel La Peste (Sampar) yang ditulis filsuf eksistensialisme Albert Camus pada 1947. Novel tersebut menceritakan tentang wabah pes di kota Oran Aljazair. Adalah tikus muasal dari wabah tersebut, yang mati dengan jumlah ribuan di seluruh pelosok kota dan menyebarkan bakteri pada manusia. Oran lantas menjadi kota mati, mencekam, chaos. Kota tersebut lalu diisolasi dari dunia luar.

Berbeda dengan Kota Oran yang mendadak terhenti karena wabah, Martapura, kota yang saya tinggali dalam dunia nyata, terkesan masih biasa saja kendati virus yang dihadapi tak kalah mematikan dari wabah di novel itu. Alasannya, mungkin karena kota yang saya tinggali ini jauh berbeda dengan kota fiksi karangan Albert Camus itu.

Dalam perkara penanganan Covid-19, kita ambil contoh, ketika Wuhan, tempat pertama Covid-19 muncul menerapkan sistem Lockdown dan berhasil menurunkan penyebaran virus, banyak kota lain menerapkan hal serupa. Beberapa di antaranya berhasil, beberapa yang lain malah semakin terpuruk. Mengapa hal tersebut bisa terjadi?

Dua antropolog yang mengkaji isu HIV dan gender di Indonesia Timur, Jenny Munro dan Sarah Richard-Hewat dari The University of Queensland, Australia, mengatakan bahwa untuk mengatasi penularan dan pencegahan penyakit harus melewati pendekatan holistik yang mencakup aspek budaya, gender, agama, ekonomi dan politik. Langkah-langkah yang diambil harus diimplementasikan dan disesuaikan dengan kehidupan sosial masyarakat.

Kebijakan mengatasi pandemi, menurut mereka tidak bisa berlaku secara universal. Sebab, dampak pada masyarakat berbeda setiap daerah. Kita tidak bisa terus-menerus berkaca dan meniru keberhasilan negara lain tanpa mempertimbangkan kearifan lokal.

Mungkin karena alasan itulah Indonesia memutuskan tidak menerapkan sistem Lockdown, tetapi justru menggunakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sebagai usaha mencegah Covid-19 —meski kita tak tahu pasti apakah PSBB merupakan pilihan yang tepat dan benar dalam perkara ini.

Di Kabupaten Banjar sendiri, lepas empat belas hari, PSBB tidak lagi diperpanjang. Sebagai gantinya, Kabupaten Banjar akan menerapkan new normal sebagai usaha untuk menangani Covid-19.

Hal tersebut, menurut Sekretaris Daerah (Sekda) Banjar, M Hilman, Rabu (27/5/2020) lalu, berdasarkan kebijakan pemerintah pusat. Sementara untuk teknis pelaksanaannya sendiri, dia menuturkan, masih menunggu petunjuk dari pusat.

New normal, menurut Juru Bicara Penanganan Covid-19 Indonesia, Achmad Yurianto, Kamis (28/5/2020), ialah tatanan kebiasaan dan perilaku baru berbasis pada adaptasi untuk membudayakan perilaku hidup bersih dan sehat agar masyarakat tetap produktif di tengah pandemi.

Dengan new normal, kantor, sekolah, kampus, dan tempat umum lainnya kembali dibuka. Pembatasan wilayah tidak lagi dilakukan. Semua seperti kembali normal.

New normal adalah hidup ‘bersama’ virus dengan cara merubah kebiasaan. Dalam kehidupan new normal, perilaku hidup bersih, mencuci tangan, memakai masker, menjaga jarak, adalah suatu hal yang harus dibiasakan dan terus dilakukan.

Korea Selatan adalah salah satu negara yang lebih dulu menerapkan new normal. Pembatasan sosial pun dihentikan di negara itu. Apakah berhasil?

Sayangnya, kehidupan baru di Korea Selatan itu tak berlangsung lama. Pada Jumat (29/5/2020), negara itu secara resmi memberlakukan lagi aturan pembatasan sosial setelah jumlah kasus positif virus corona meningkat sejak April 2020.

Lonjakan kasus Covid-19 di Korea Selatan adalah risiko nyata yang mungkin saja terjadi bila pembatasan sosial dilonggarkan. New normal yang belakangan disebut sebagai cara tepat menghadapi Covid-19 adalah perjudian manusia melawan kemungkinan. Di satu sisi, bertahan dengan kondisi PSBB jelas akan memberi dampak buruk bagi ekonomi masyarakat. Di sisi lain, melonggarkan kebijakan tersebut dan memilih untuk menjalani hidup berdampingan dengan virus corona bisa jadi senjata mematikan untuk kita sendiri.

Kabupaten Banjar jelas berbeda dengan Korea Selatan, tetapi melihat mereka yang notabene lebih siap dari berbagai aspek dalam menghadapi wabah virus corona kecolongan dalam menerapkan new normal. Kita bisa bertanya kepada diri kita masing-masing: siapkah kita menghadapi new normal?

Namun, seperti kata Jenny Munro dan Sarah Richard-Hewat, kita tidak bisa selamanya melihat berhasil atau tidaknya negara lain menangani wabah ini. Korea Selatan mungkin gagal dalam new normal, tetapi siapa tahu Kabupaten Banjar bisa. Mungkin saja. (*)