Persoalan label kedaluwarsa kembali membelit pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), kali ini menimpa produsen makanan tradisional Mama Khas Banjar (MKB).
BANJARMASIN, koranbanjar.net – MKB sempat dipersoalkan secara hukum lantaran sebagian produknya tak mencantumkan label kedaluwarsa. Meski bertekad melakukan perbaikan, pelaku UMKM ini menghadapi realita pahit, lemahnya dukungan instansi teknis.
“Yang terjadi justru saling lempar tanggung jawab kewenangan,” kritik Tokoh Ambin Demokrasi, Noorhalis Majid, kepada koranbanjar.net, Selasa (17/6/2025) di Banjarmasin.
Menurutnya, tak satu pun lembaga terkait, baik dinas maupun balai, memiliki perangkat metode atau aturan yang memadai untuk mengakomodasi produk-produk fermentasi khas Banjar, seperti mandai, pakasam, iwak wadi, samu, jaruk tigarun, kalangkala, dan gayam.
“Dengan metode ilmiah apa kita menentukan kedaluwarsa produk-produk itu?,” ujarnya.
Noorhalis menjelaskan, penentuan umur simpan semestinya dilakukan lewat dua pendekatan, pengamatan fisik secara berkala (bau, rasa, tekstur, warna, jamur, pH), atau uji laboratorium mikrobiologi dan kimia. Namun, kedua cara ini dinilai tidak realistis bagi UMKM, karena biaya dan kerumitan prosedurnya.
“Kalau setiap produksi harus diuji laboratorium, berapa biayanya? Sanggupkah UMKM menanggungnya?,” tanyanya retoris.
Ia menyarankan pendekatan pragmatis yang sudah umum di pasar tradisional, menjual produk dalam toples besar tanpa pengemasan satuan, sehingga tak perlu label kedaluwarsa atau produk baru dibungkus saat ditimbang pembeli.
Alternatif kedua, jika produk bersifat rumahan dan bebas bahan pengawet buatan, cukup mengantongi izin PIRT. Label cukup mencantumkan bahan baku, proses produksi, saran penyimpanan, dan peringatan dini jika terjadi perubahan warna, aroma, atau tekstur.
“Beri garansi, kalau rusak dalam waktu kurang dari seminggu, siap diganti. Itu lebih membangun kepercayaan konsumen,” katanya.
Lebih lanjut, Noorhalis menegaskan bahwa masyarakat Banjar telah memiliki kearifan lokal dalam menilai kualitas produk fermentasi.
“Orang Banjar punya kecanggihan sendiri untuk melihat batas kedaluwarsa. Bahkan seringkali, lebih presisi daripada laboratorium,” pungkasnya. (yon/bay)
Saling Lempar Tanggung Jawab, UMKM Khas Banjar Terkendala Label Kedaluwarsa
