PEREMPUAN, khususnya ibu hamil dan ibu menyusui adalah kelompok rentan yang penting mendapatkan perhatian khusus di lokasi pengungsian di Sulawesi Tengah. Sejumlah aktivis perempuan mengkritisi penempatan pengungsi tanpa membedakan jenis kelamin, tanpa ruang privasi memadai dan akses air bersih.
Dewi Rana Amir, Direktur Perkumpulan Lingkar Belajar Untuk Perempuan (Libu Perempuan) Sulawesi Tengah, menyerukan perlu adanya perhatian khusus bagi perempuan sebagai kelompok rentan yang kini masih menempati tempat hunian darurat yang dibangun secara swadaya dan seadanya oleh warga, sejak mereka mengungsi pertama kali setelah peristiwa gempa bumi dan tsunami 28 September 2018 silam.
Berbicara kepada VOA (afiliasi koranbanjar.net), Dewi Rana Amir menjelaskan tempat-tempat pengungsian seperti itu kini ditempati puluhan orang, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Tidak ada ruang privasi yang dapat digunakan untuk berganti pakaian, menyusui bayi, atau pun sarana MCK dan akses air bersih yang memadai.
“Dalam kondisi normal saja, perempuan sangat rentan dengan stigma-stigma yang dilekatkan pada tubuh, pada diri perempuan. Nah apalagi pada situasi bencana di mana perempuan harus ada di pengungsian, dan ruang-ruang pribadi untuk perempuan itu bukan hanya minim tapi bahkan hampir tidak ada. Di beberapa tempat, misalnya di Petobo, kami menemukan ada tenda pengungsi yang dihuni sampai 23-24 kepala keluarga dalam satu tenda. Nah bisa dibayangkan bagaimana rentannya kita (perempuan) dalam situasi seperti itu, apalagi misalnya ibu-ibu hamil yang harus dekat dengan sumber air bersih atau MCK yang dapat diakses dalam waktu kapan saja,” papar Dewi.
Sejak membuka layanan tenda ramah perempuan di berbagai lokasi, Libu Perempuan telah menerima serangkaian laporan mengenai terjadinya kekerasan maupun pelecehan seksual terhadap perempuan yang terjadi di lokasi pengungsian.
“Di beberapa tempat itu kan setelah misalnya beberapa minggu di pengungsian itu banyak laporan-laporan ada pelecehan kepada perempuan, ada kekerasan terhadap perempuan. Nah setelah dibukanya tenda ramah perempuan, kami menerima dua pengaduan. Yang satu, soal pelecehan ayah tiri kepada anak tirinya yang dilakukan di pengungsian. Nah itulah yang saya bilang tadi perempuan itu harus punya ruang yang aman, ruang di mana dia bisa mengekspresikan dirinya secara aman,” jelas Dewi.
Dewi menilai pada masa tanggap darurat, pemerintah telah memulai langkah baik dengan berupaya memprioritaskan ibu hamil, ibu menyusui dan keluarga yang memiliki balita untuk menempati tenda-tenda layak huni yang merupakan bantuan dunia internasional. Termasuk bangunan hunian sementara yang sebagian sudah mulai ditempati para korban terdampak gempa bumi, tsunami dan likuifaksi.
Dari pemantauan VOA di lokasi kamp pengungsian terpadu di Petobo (20/10), sebagian besar warga terdampak likuifaksi yang mengungsi di wilayah itu masih menempati bangunan-bangunan sederhana yang didirikan dengan material papan, tripleks, dan seng bekas.
Sebagian lainnya sudah menempati tenda-tenda yang berasal dari Tiongkok dan Swiss. Pendirian “hunian sementara” masih dikerjakan, meskipun beberapa di antaranya kini sudah ditempati keluarga-keluarga yang memiliki anak-anak kecil.
Berada di lokasi pengungsian membuat para perempuan yang memiliki bayi dan balita juga harus berupaya keras untuk mendapatkan popok bayi (pampers) dan susu formula bagi kebutuhan anak mereka.( yl/em/voaindonesi.com/sir)