Raperda Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD tahun 2021 tidak juga juga kelar karena belum ditandatangani oleh Ketua DPRD Kabupaten Banjar HM Rofiqi, dan ini mendapat sorotan dari Anggota Badan Anggaran (Banggar), Saidan Pahmi.
BANJAR, koranbanjar.net – Saidan Pahmi saat dihubungi wartawan melalui sambungan telepon, Senin (19/10/2022), anggota fraksi Demokrat ini menyampaikan bahwa dirinya memang mengetahui bahwa Ketua DPRD tidak mau tanda tangan Raperda Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD tahun 2021.
Itu diketahuinya setelah ada surat dari Sekretaris Daerah Propinsi Kalsel ke Pemkab Banjar Nomor: 900/1339/Set-Bakeuda tertanggal 30 Agustus 2022 yang menyampaikan surat perihal belum adanya pembubuhan tanda tangan ketua DPRD dalam dokumen tersebut.
“Waktu itu saya tidak ambil pusing, karena bagi saya ketua DPRD bukan anak-anak yang tidak paham aturan bernegara. Jika sebuah keputusan DPRD sudah diambil berdasarkan Tatib,” katanya.
Yakni diambil melalui Rapat Paripurna yang sah, maka pembubuhan tanda tangan itu adalah sebuah keniscayaan, karena tanda tangan pimpinan DPRD tersebut adalah simbolisasi dari keputusan Institusi DPRD, bukan menyimbolkan keputusan personal ketua DPRD.
Lebih lanjut Saidan menjelaskan bahwa produk hukum dikeluarkan DPRD itu bisa berupa peraturan yang bersifat mengatur (regeling), contohnya Perda atau Peraturan DPRD dan bisa juga berupa peraturan bersifat memutus (beschikking) contohnya surat keputusan Ketua DPRD.
Kalau peraturan yang dibuat bersifat mengatur, maka mekanismenya harus melibatkan persetujuan anggota DPRD, sedangkan surat keputusan, tidak perlu melibatkan anggota DPRD, cukup pimpinan dan/atau Ketua DPRD.
“Nah, Pertanggungjawaban APBD inikan produk hukumnya adalah Perda, keliru jika Ketua DPRD tidak tanda tangan, sementara produk tersebut telah berproses sesuai dengan mekanisme ada dalam Tatib DPRD, yakni telah dibahas sampai pada kesepakatan dalam Paripurna yang sah,” tambah Saidan.
Sebuah Perda menurut Saidan, hakekatnya menyangkut hajat hidup orang banyak, sehingga mekanismenya harus melibatkan para anggota DPRD sebagai perwakilan dari rakyat.
Keliru jika kesepakatan yang merepresentasikan rakyat dibajak oleh ketidakmauan pribadi pimpinan enggan tanda tangan.
Ketika ditanyakan pendapatnya, bagaimana jika bersikeras tidak mau tanda tangan, menurut Saidan lakukan pendekatan persuasif sembari memberi pemahaman.
Ketika ditanya lagi, bagaimana kalau sudah dilakukan pendekatan persuasif, namun hasilnya tetap nihil, dengan jeda yang panjang ia menjawab; terpaksa harus diselesaikan secara politis yaitu mengajukan mosi tidak percaya.
Terhadap LSM yang memberi dukungan tidak tanda tangan Raperda Pertanggungjawaban APBD, Saidan menanggapi bahwa hal itu karena teman-teman LSM belum dapat pencerahan saja soal urgensi Raperda pertanggungjawaban pelaksanaan APBD untuk apa.
Raperda Pertanggungjawaban, selain mensahkan penggunaan APBD tahun 2021 termasuk didalamnya penggunaan anggaran yang dipakai DPRD, juga untuk memanfaatkan SiLPA tahun lalu agar bisa dipakai dalam APBD perubahan tahun berikutnya.
“Jika Perda Pertanggungjawaban Pelaksanaaan APBD tidak disahkan, akan ada problem yuridis berkaitan keabsahan penggunaan APBD perubahan tahun berikutnya, dan hal ini jelas akan mengganggu jalannya pemerintahan dan pembangunan,” tutup Saidan.
Di sisi lain, Ketua DPRD Kabupaten Banjar HM Rofiqi menyinggung Saidan Pahmi untuk tidak asal bicara perihal persetujuan LPj APBD Kabupaten Banjar 2021.
Bahwa ia tidak sembarang membubuhkan tandatangan, apalagi bila itu berdampak melanggar aturan hukum dan peraturan perundang undangan berlaku.
Ia berpegang pada peraturan bahwa persetujuan bersama Raperda dilaksanakan paling lambat tujuh bulan setelah berakhirnya tahun anggaran sesuai Pasal 194 ayat 3 tentang penyusunan rancangan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD.
“Baca lagi Pasal 194 Ayat 3, saya diminta membubuhkan tanda tangan pada bulan Agustus atau sudah bulan ke delapan,” katanya.
Bagaimana dengan mosi tidak percaya? Rofiqi tetap kukuh dan tak gentar karena ia telah bekerja sesuai peraturan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (dya)