Polemik pembelian BBM jenis Pertalite melalui aplikasi MyPertamina muncul karena pembelian melalui aplikasi ini tidak menyelesaikan masalah, malah menimbulkan persoalan baru.
BANJARMASIN, koranbanjar.net – Pengamat Ekonomi dari Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, Ahmad Yunani mengulas persoalan ini lewat wawancaranya kepada media ini, Senin (4/7/2022) via chat whatsApp.
“Sebaiknya jangan ada perbedaan harga, tidak ada birokrasi melalui aplikasi pembelian, pasokan cukup jadi tidak antri,” ujarnya.
Kemudian lanjutnya, Keuntungan aplikasi harus transparan apakah hanya murni pelayanan, atau tujuan bisnis to bisnis antara operator dan pertamina.
Penggunaan Aplikasi bermanfaat bagi pertamina dalam mengendalikan pembelian, penjualan tepat sasaran dan pendataan penggunaan bbm jenis ini (Pertalite).
Namun dari pandangannya, persoalan muncul saat penerapannya, apalagi ini belum melalui sosialisasi yang memadai.
Lanjutnya, walaupun informasinya dari tanggal 1 sampai 31 Juli 2022 pendaftaran, kemudian tidak mesti bawa handphone, cukup bawa tanda daftar atau barkode dalam bentuk kartu, pendaftaran bisa online dan pelayanan melalui petugas SPBU atau operator.
“Tapi malah tambah ruwet dan berat bagi masyarakat sebagai konsumen yang harus cepat mendapat BBM,” ucap Yunani selain Dosen Fakultas Ekonomi juga sebagai Prodi Pembangunan ULM ini.
Masih menurut analisanya, mestinya pertamina jualan mau untung dan bahan bakar sebagai kebutuhan pokok bagi masyarakat maka harus diperbanyak pasokan ketersediaan agar tidak antri.
Jika harga dianggap murah masyarakat akan memaklumi, dan hanya satu harga jadi tidak ada permainan harga.
“Jadi pertamina tidak bakal rugi, kalau subsidi harga baru diberikan kepada yang membutuhkan harga khusus atau potongan dengan penerima sudah terdaftar, pengambilannya juga pada SPBU khusus,” terangnya.
Ketua ISEI Kalimantan Selatan ini mengungkapkan, rakyat sudah dan banyak beban jangan lagi dibebankan dengan banyaknya birokrasi saat mau beli BBM.
Yunani melihat, saat ini kondisi perekonomian sedang berat, terobosan mestinya mempermudah dan berpihak pada masyarakat jangan hanya keuntungan corporate dan jasa operator.
“Kebijakan ini juga menggiring masyarakat untuk tidak bisa membeli pertalite mengarah ke pertamax,” bebernya.
Pemerintah juga harus memperhatikan level sosial dan ekonomi masyarakat dalam menbuat kebijakan, sosialisasi yang detail penting untuk masyarakat.
“Jangan isunya yang berkembang simpang siur,” ucapnya.
Kemudian sambungnya penerapan aplikasi pembelian Pertalite ini harus melalui masukan RDP dengan DPR karena menyangkut hajat masyarakat.
Dipaparkannya, pertamina hanya operator saja tidak dalam kewenangan kebijakan tapi biasanya masukan teknis dari pertamina, sehingga pertamina dalam memberi masukan teknis kepada pemerintah harus dikaji secara dalam dan solutif.
“Nanti kembali pemerintah yang akan dituntut masyarakat sebagai pemilik kewenangan tersebut,” bilangnya.
Dirinya berpendapat, kalau pemerintah mau kebijakan aplikasi dan efektifitas terkait BBM sekalian dirikan SPBU seperti di luar negeri yang konsumen melayani sendiri, bayar pakai aplikasi, semua pakai digitalisasi, jangan campur dengan SPBU umum.
“Jadi kalau konsumen menengah ke atas, kaum milineal dan kenal aplikasi bisa masuk ke sana,” ucapnya.
Kemudian pertamina buat SPBU khusus pertalite, khusus pertamax, khusus solar dan SPBU multi produk.
“Jadi tidak ada antri silakan para pengusaha SPBU pilih bisnis apa,” demikian ulasannya.
Sebelumnya tersebar sebuah postingan dari warga net yang membeberkan telah menginstal ulang aplikasi layanan keuangan digital MyPertamina, biar bisa beli BBM bersubsidi,” kata-kata dalam postingan tersebut.
Lanjut isi postingan itu, rupanya, aplikasi ini terintegrasi dengan aplikasi sejenis yaitu LinkAja.
Jadi transaksi beli BBM, pembeli harus punya dana di LinkAja. Karena penasaran, walaupun programnya baru akan dimulai 1 Juli mendatang.
Penulis postingan ini berkata “saya coba isi/transfer dana ke aplikasi tersebut seadanya, namanya juga coba-coba, dana masuk dan lancar.
Saya melihat di situ tertera biaya admin Rp 1.000, sepertinya tidak berarti karena cuma seribu, tapi saya lalu berpikir, berapa banyak biaya admin yang bakal masuk ke LinkAja ke depan dalam transaksi beli BBM bersubsidi.
Jutaan konsumen pasti akan mengisi (top up) dana ke LinkAja, bisa beberapa hari sekali. Dengan jumlah kendaraan bermotor (mobil dan motor) di Indonesia tahun 2022 ini.
Sebanyak 145 juta, taruhlah yang beli BBM bersubsidi hanya 10 %, berarti 14,5 juta. Maka, sebanyak 14,5 juta x Rp 1.000 ( 14,5 milyar) setiap transaksi akan masuk ke LinkAja dengan santai.
Jika dalam sebulan, katakanlah 14,5 juta pelanggan rata-rata 5 x top up, 72,5 milyar melenggang masuk ke LinkAja. Itu dengan asumsi hanya 10 %. Pemilik kendaraan baik mobil maupun motor yang beli BBM bersubsidi loh. Kalau 20%, 30%, 50% atau lebih kalikan saja sendiri, belum lagi kalau top up lebih dari 5 x sebulan.
Saya acung dua jempol atas kejelian MyPertamina bersama LinkAja dalam hal ini. Saya buka di Google, LinkAja merupakan layanan keuangan digital dari Telkomsel sebagai pemilik saham terbesar (25%). Kemudian Bank Mandiri, BNI46, BRI (2%), BTN, Pertamina (7%), dan Jiwasraya, Danareksa (1%).
Mantap jiwa Ngakalin Rakyat Lagi, demikian bunyi postingan tersebut.
(yon/slv)