Tak Berkategori  

Pengidap HIV Akibat Seks Sesama Jenis: Kadang Cemas Ajal (III)

BEGITU pula di lingkungannya, meskipun tidak semua, namun Gatot tetap diterima dengan baik layaknya bukan pengidap HIV.

“Memang ada beberapa teman yang pas tahu saya positif HIV, mereka langsung menghindar dan hilang. Mereka yang seperti itu saya anggap tidak memiliki tentang pengetahuan HIV,” ujar Gatot.

Sebagai orang dengan HIV/AIDS (ODHA) berdasarkan hasil diagnosa dari Dinas Kesehatan Banjarmasin pada 2015 lalu, tentu saja Gatot tak bisa lepas dari obat.

Lazimnya penderita HIV, Gatot harus mengkonsumi obat Antiretroviral (ARV) setiap hari untuk menghambat perkembangan virus mematikan itu di dalam tubuhnya.

“Saya mendapatkan obat (ARV) itu di rumah sakit. Saya harus rutin meminumnya karena saya pengidap HIV, bukan AIDS. AIDS itu sudah sekarat (akibat HIV) karena tidak mau meminum obat dan menutup diri,” tuturnya.

Konon, dalam beberapa studi, ODHA yang konsisten meminum ARV dengan pengawasan dokter, membuat jumlah virus ditubuhnya tidak bisa terdeteksi.

Meski jumlah virusnya tak terdeksi karena rutin meminum ARV, bukan berarti penderitanya sembuh. Hingga kini masih belum ada seorang pun yang benar-benar berhasil menemukan obat pembunuh HIV di tubuh manusia secara sempurna.

Hal itulah yang terkadang membuat Gatot dilanda rasa cemas. Ya, meski belum menderita AIDS, manusiawi kiranya apabila seorang ODHA mengkhawatirkan ajalnya.

“Rasa cemas (mengkhawatirkan ajal) pasti ada. Tapi saat itu pula saya menemukan rasa percaya diri untuk berjuang. Karena menurut saya orang mati itu tidak hanya karena HIV/AIDS. Orang yang sehat juga akan mati,” ucapnya.

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kesehatan telah mengadakan obat ARV sejak 2004.

Obat ARV dikenal dengan kombinasi dosis tetap dari Tenofovir, Lamivudin, dan Efavirens (TLE). (Foto: Gatot untuk Koranbanjar.net)

Namun, tender pembelian obat ARV dari Kementerian Kesehatan kepada pihak perusahaan swasta (BUMN), tahun lalu, gagal. Untuk persediaan sementara, pemerintah mengimpor beberapa TLE melalui The Global Fund, sebuah organisasi keuangan internasional yang memerangi AIDS, Tuberkulosis dan Malaria.

“Kami sudah mendengar bahwa 2018 lalu beberapa (perusahaan luar pemasok ARV) sudah angkat kaki dari Indonesia. Mereka sudah tidak mau mendanai Indonesia lagi untuk memerangi HIV. Di beberapa provinsi bahkan sudah melakukan pembahasan tentang penganggaran obat ARV, apakah nanti penganggarannya diberikan kepada pemerintah pusat atau pemerintah daerah,” kata Ketua LSM KDS Intan Jamrud itu.

Menurutnya, pemerintah harus segera memikirkan solusi kelancaran pengadaan obat ARV di Indonesia sebelum menjadi masalah di kemudian hari.

“Karena kita otonomi daerah, pemerintah pusat bisa mengambil keputusan bahwa obat HIV (ARV) diambil (dianggarkan) oleh masing-masing (pemerintah) daerah. Ini harus jelas dan benar-benar dipikirakan oleh pemerintah agar obat HIV tetap terus ada. Kalau lambat memikirkan, angka kematian bagi ODHA bisa makin tinggi. Karena orang HIV itu tidak boleh putus obat,” tandasnya. (*)

Baca sebelumnya: