Kalsel  

Pengesahan UU Baru soal Pemindahan Provinsi Kalsel Rentan Digugat ke Mahkamah Konstisusi

Presdir Borneo Law Firn, Muhammad Pazri
Presdir Borneo Law Firn, Muhammad Pazri

Keberadaan UU Nomor 25 Tahun 1956 jo UU Nomor 21 Tahun 1958 tentang Penetapan UU Darurat Nomor 10 Tahun 1957, yang menjadi dasar pembentukan Daerah Swantara (Provinsi) Tingkat I Kalimantan Selatan (pemindahan Ibukota Provinsi Kalsel), rentan akan digugat ke Mahkamah Konstisusi(MK).

BANJARMASIN, koranbanjar.net – Hal ini dijabarkan Presdir Borneo Law Firn, Muhammad Pazri lewat paparannya secara tertulis, Minggu (20/2/2022) di Banjarmasin.

Ujarnya, dasarnya adalah pasal 24C ayat (1) UUD 1945, MK berwenang, antara lain, mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar.

Kemudian pasal 9  ayat 1 UU  Nomor  12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan berbunyi Dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan MK.

Perlu diingat, katanya, dalam membuat perundang-undangan yang baik berdasarkan Pasal 5 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

“Harus memperhatikan dan memuat asas kejelasan tujuan, kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat, kesesuaian antara jenis, hirarki, dan materi muatan dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan dan keterbukaan,” papar Pazri yang juga sebagai Pemerhati Kebijakan Publik ini.

Dirinya berpendapat, undang – undang Kalsel harus dikaji lebih mendalam perlu uji publik.

“Karena saya menganggap rentan UU Kalsel tersebut digugat ke MK,” tegasnya sekali lagi.

Pazri akhirnya menanyakan, di mana posisi Pemprov Kalsel  dan DPRD Provinsi Kalsel pada saat proses pembetukan UU tersebut. Seperti apa kajian teoritik dan praktik empirik serta masukkannya?

Apakah sudah diakomodir juga masukan masing-masing kabupaten/kota dan sejauhmana pastisipasi masyarakat?

Dirinya justru khawatir pembentuk undang-undang hanya berpikir bahwa membentuk undang-undang merupakan kewenangan saja tanpa memikirkan keinginan masyarakat sebenarnya.

“Padahal seharusnya rakyat juga memiliki hak untuk mengetahui proses legislasi yang berlangsung di DPR RI,” ucapnya.

“Ingat, kondisi Kalsel sangat ironis, kaya sumber daya alam namun listrik sering padam, jalan dan sarana prsarana tidak memadai, masyarakat belum sejahtera, lapangan kerja sulit,” sambungnya.

Pazri menguraikan secara historis, Provinsi Kalsel berdiri pada 1 Januari 1957 dengan dasar UU Nomor 25 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Otonom Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur.

Sebelumnya, tiga provinsi menjadi satu di bawah satu Provinsi yakni Kalimantan. Hingga pada 23 Mei 1957, Provinsi Kalimantan pun dipecah menjadi Provinsi Kalsel dan Kalteng dengan dasar terbitnya UU Darurat Nomor 10 Tahun 1957 tentang  Pembentukan Daerah Swantara Provinsi Kalteng.

Sebab, secara yuridis, dasar pembentukan Provinsi Kalsel dinilai telah kedaluwarsa (out of date), karena dibentuk menggunakan UUDS Tahun 1950, sehingga muatannya dianggap tak sesuai dengan perkembangan ketatanegara terkini.

Namun setelah mencermati dan membaca UU Provinsi Kalsel yang baru disahkan tanggal 15 Februari 2022 selain banyak  menuai polimek seperti Pasal 4 Ibu Kota Provinsi Kalimantan Selatan berkedudukan di  Kota Banjarbaru.

Dalam UU Kalsel yang baru disahkan terkesan tidak mengakomodir landasan filosofis, landasan sosiologis, landasan yuridis, kebutuhan Kalsel dan sangat tidak lengkap serta ke depan akan menimbulkan ketidakpastian hukum.

UU yang baru disahkan hanya delapan pasal dan terdiri dari Bab I Ketentuan Umum, Bab II Cakupan Wilayah, Ibukota dan Karakteristik, kemudian Bab III Ketentuan Penutup.(yon/sir)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *