Scroll ke bawah untuk melanjutkan
Koran Banjar
Koran Banjar
Banjar

Dilema Pengantar Paket saat Corona, Tetap Kerja Meski Sering Dijauhi

Avatar
375
×

Dilema Pengantar Paket saat Corona, Tetap Kerja Meski Sering Dijauhi

Sebarkan artikel ini

Dilema pengantar paket di saat wabah corona (Covid-19) turut dirasakan Roy. Dia harus tetap bekerja untuk menutupi kebutuhan sehari-hari, meski kadang dijauhi oleh penerima paket.

Saat itu, raut Roy tampak kesal, dahinya mengernyit sambil melongokkan kepala, celingukan di sela pagar. Masker penutup wajahnya dibuka setengah. “Paket,” kata dia mendengus karena pemilik rumah tak mengetahui kehadirannya.

Advertisement
Koran Banjar
Scroll ke bawah untuk melanjutkan

Kuping sang empunya rumah disumpal earphone. Itu sebab Roy menganggur tiga menitan di depan bangunan rumah di kompleks perumahan kawasan Cinangka, Kecamatan Ciampea, Bogor.

“Maaf, Mas. Nggak kedengaran,” kata pemilik rumah tersebut seraya membuka pagar. Paket pun berpindah tangan. Pemilik rumah meletakkan paket di teras, disemprotkannya cairan dalam botol biru.

Itu masih tak seberapa bagi Roy. Ada yang lebih menjengkelkan. Pernah suatu kali Roy diperlakukan seperti sesuatu yang kehadirannya harus dijauhi. Ia diminta tak terlalu dekat dengan penerima paket.

Lebih sebal lagi, kadang Roy diberi tugas tambahan untuk terlebih dulu menyemprot paket dengan desinfektan dan menjemurnya.

“Saya suka kesal kalau pas habis nganter, itu, ‘bang tolong jemur dulu paketnya’. Atau, ‘taruh aja di situ’. Banyak yang kayak gitu,” gerutu Roy kepada CNNIndonesia.com pada pertengahan April 2020.

“Jemurin aja dulu, atau taruh aja di situ. Terus saya tanya, emang kenapa Bu? Kan ini lagi musim corona,” cerita dia menirukan.

Sekalipun, sebelum mengantar, paket-paket itu telah terlebih dulu ia semprot dan bersihkan. Lama kerjanya sebagai pengantar paket masih hitungan bulan, belum lama. Sebelumnya ia bekerja di Dinas Pemakaman dan Pertamanan.

Berbeda dengan pekerjaan sebelumnya, upah yang kini didapat tak seberapa. Karena masih masa percobaan, Roy belum beroleh gaji tetap bulanan.

“Dihitungnya kalau anak baru itu per paket, satu paket saya mengirim itu Rp1.300. Sehari paling banyak itu 60 paket dari Cinangneng sampai Cinangka, dari pagi sampai malam,” tutur dia.

Biar bagaimanapun itu, Roy masih bakal menekuni pekerjaannya tersebut. Sebab dapur tetap harus mengepul.

“Kalau dari segi mencari rejeki, saya berpikiran kayak gitu. Terus kalau saya diam di rumah, siapa yang menggaji. Kan saya hitungannya masih harian. Saya masuk dapat duit, nggak masuk ya nggak dapat duit. Selama tiga bulan ini begitu. (Beda) kalau yang sudah lama karyawan, ya enggak, tetap gajiannya,” kata dia.

Roy juga merasa tak terlalu mencemaskan dampak virus corona terhadap dirinya. Toh selama ini ia juga mematuhi imbauan cuci tangan, mengenakan masker dan prosedur lain yang diminta perusahannya.  “Ya saya mah lempeng aja, nggak terlalu (takut) gimana gitu,” sambung dia.

“Mbak tahu, itu kan ada yang pernah nulis, nggak tahu benar apa nggak, penyakit kayak gitu itu rata-rata yang kena 50 tahun ke atas. Karena ketakutan, paranoid gitu. Kan dari usia sama penyakit lainnya,” tutur Roy yang kini berusia 38 tahun. Dari beberapa informasi yang ia baca itu, Roy tak mau terbawa kelewat was-was.

Ia justru mengaku lebih cemas terhadap orang tuanya. Ibunya, kata dia, terlalu khawatir dengan ketidakpastian pandemi Covid-19 yang kini telah menginfeksi lebih 4.500 orang di Indonesia tersebut. Yang Roy bisa hanya menenangkan sang ibu, seraya meyakinkan dan menebar harap semua akan segera bisa dilalui.

“Mamah saya kan jadi ketakutan gitu. Saya bilang, makanya mamah jangan nonton tv karena beritanya begitu semua. Tapi kan kalau nggak nonton TV jadi nggak tahu informasi. Tapi kalau nonton, sesak napas dikit aja jadi-kalau bahasa sundanya-rarasaan tea. Jadi perasaannya kenapa-kenapa. Kasihan, jadi serba ketakutan,” ungkap Roy.

Hari itu, masih ada belasan kotak masih nangkring di jok motor Roy. Ia masih harus melanjutkan pekerjaannya mengantar ke rumah-rumah.

Beberapa kali ia tampak memeriksa nomor rumah di kompleks yang sama, satu per satu, mulutnya komat-kamit seperti mengeja sesuatu. Matanya berganti-gantian melihat secarik kertas dan rumah-rumah di kompleks.

“Namanya saya juga anak baru, masih harus nyari alamat. Sudah nyari alamat susah, lama. Pas ketemu kadang nggak langsung ada, harus teriak-teriak,” ia berseloroh diiringi nada suara yang getir.

Petugas pengantar paket, salah satu pekerjaan yang tak bisa dikerjakan di rumah atau menerapkan sistem work from home. Para pekerja ini harus memastikan pengiriman paket sampai ke rumah penerima.

Tak selalu daerah yang dijejak itu mereka kenali betul. Hari-hari ini, sebagian orang punya pilihan untuk bekerja dari rumah, tapi Roy tidak. “Ya gimana mau libur. Nanti paketnya nggak sampai,” kata dia.(NMA/cnn)

Protes RUU Anggota Parlemen Menari Perang Prabowo Ajak Puasa 5 Tahun KPK Lelang Barang Koruptor Gus Miftah Meminta Maaf Gus Miftah Ejek Penjual Es Teh