Oleh: Redaktur Pelaksana Koranbanjar.net, DONNY IRWAN
————————————————————————————
SAYA pikir kejadian tewasnya lima orang pendulang intan akibat tertimbun tanah galian pendulangan di Desa Pumpung Kecamatan Cempaka, Banjarbaru, April lalu, adalah korban pendulang terakhir. Namun nyatanya hingga Selasa 23 Juli kemarin, masih saja ada pendulang intan yang tewas di kawasan yang sama.
Lantas di mana hati nurani Pemerintah Kota Banjarbaru terhadap hilangnya nyawa demi nyawa warganya di Desa Pumpung, yang sejak April 2017 hingga 23 Juli kemarin sudah ada sembilan pendulang tewas di sana?
Tenang jangan khawatir, pemerintah punya rencana banyak kok terhadap masyarakat pendulang di Desa Pumpung.
Namun karena barusan saya tulis di atas “tenang” makanya masyarakat sabar saja dulu. Masyarakat harus sabar entah sampai berapa lagi yang mati di sana, karena hingga sampai saat ini kita tidak melihat rencana itu direalisasikan. Janganpun direalisasikan, segera memutus mata rantai pendulangan di Desa Pumpung saja hingga saat ini pemerintah tak bisa.
Oke itu merupakan mata pencaharian warga di sana yang sudah turun-temurun sehingga sukar dihentikan. Lantas apakah pemerintah tidak bisa membuat cara mendulang di sana agar aman?
Padahal, usai tewasnya lima orang pendulang Desa Pumpung tiga bulan lalu, keesokan harinya Wakil Wali Kota Banjarbaru, Darmawan Jaya Setiawan, lantang berbicara di hadapan wartawan dengan mengatakan ia sedang berdiskusi dengan Wali Kota Banjarbaru, Nadjmi Adhani, demi menemukan solusi terbaik dalam waktu secepatnya untuk menindaklanjuti kawasan pendulangan intan di Desa Pumpung agar tak lagi menelan korban.
“Saat ini kami dengan Pak Wali Kota masih dalam diskusi internal untuk mencoba bagaimana kita membuat tambang (intan) dengan cara tradisional namun aman. Sedangkan untuk ke depannya kewenangan pertambangan itu ada di provinsi,” ujar Darmawan dalam wawancaranya tersebut.
Oke kita kasih tepuk tangan dulu yu buat Pak Wali Kota Banjarbaru dan wakilnya. Eh tapi jangan terlalu gaduh, paparan Pak Wakil belum habis.
Pemko Banjarbaru, kata Darmawan, akan merencanakan wilayah pendulangan intan di Desa Pumpung menjadi salah satu ikon pariwisata di Banjarbaru, sehingga para pendulangannya tetap bisa beraktivitas mendulang intan di tempat itu. Nyatanya?
Padahal, mau tahu padahalnya? Saya pertama kali mendengar rencana pengembangan objek wisata di kawasan pendulangan Desa Pumpung itu sudah sejak 2017 silam, jauh sebelum peristiwa tragis yang menewaskan lima orang pendulang di sana, April lalu.
Bahkan Kepala Dinas Pemuda, Olahraga dan Pariwisata (Dispora) Banjarbaru, Juni 2017 kala itu, pernah mengatakan bahwa Pemko Banjarbaru segera akan menjadikan wilayah Desa Pumpung menjadi kawasan pendulangan tradisional ramah lingkungan. Rencana itu bahkan menurut Kadispora diharapkan dapat digeber dalam waktu tiga bulan di tahun itu. Nyatanya? Oke itu tentang rencana tiga bulan di tahun 2017. Anggap saja si Ibu Kadis kala itu sedang bermimpi.
Kita lihat saja apa yang dilakukan Pemko Banjarbaru melalui Disporanya sekarang ini. Anda tahu? Yang mereka lakukan adalah justru memperbaiki tugu Intan Trisakti Desa Pumpung.
Saya sepakat tugu itu merupakan identitas pendulangan di Desa Pumpung yang mempunya sisi sejarah terkait penemuan intan Trisakti sebagai intan terbesar yang pernah ditemukan di sana. Namun pertanyaan saya apakah perbaikan tugu yang menelan dana hingga Rp 65 juta melalui APBD itu merupakan langkah kebijakan pemerintah yang mempunyai sisi urgensi tinggi? Saya kira mau Desa Pumpung punya 10 tugu, 20 tugu bahkan sampai 300 tugu pun, kematian pendulang di sana takkan bisa terelakkan.
Baik, itu mengenai kebijakan tak memiliki urgensi dan sedikit rencana di antara banyak rencana yang saya ungkit dari pemerintah eksekutif, yang tanpa kita tahu kapan direalisasikan.
Lalu, yang mau saya ungkit selanjutnya adalah kebijakan dari pemerintah legislatifnya. Adakah kebijakan dari mereka?
Alih-alih ikut memikirkan solusi terbaik untuk dapat mengurangi atau menghentikan aktivitas pendulangan di Desa Pumpung, regulasi atau produk hukum terkait kawasan pendulangan Desa Pumpung pun mereka tak punya. Dengan kata lain, Banjarbaru tak memiliki aturan khusus dalam mengatur pendulangan di Desa Pumpung agar tak lagi terjadi kematian.
Salah satu anggota DPRD Banjarbaru dari Dapil II (termasuk Kecamatan Cempaka) Banjarbaru, April 2019 lalu, bahkan mengakui mereka tak punya garis koordinasi dengan Pemko Banjarbaru dalam hal membicarakan solusi terbaik untuk pendulangan Desa Pumpung. Dia beralasan menghentikan aktivitas pendulangan tradisonal di sana bukanlah perkara mudah, karena sudah dilakoni secara turun-temurun.
Bagaimana dengan pihak kepolisian setempat di sana? Sayangnya mereka juga tidak bisa berbuat banyak. Padahal saya pribadi sangat berharap pihak kepolisian bisa menetapkan kawasan pendulangan Desa Pumpung sebagai wilayah terlarang misalnya.
Pada intinya, mau mereka Pemko Banjarbaru, DPRD Banjarbaru, pihak kepolisian, untuk persolaan “murahnya nyawa” di Pendulangan Desa Pumpung, saya ingin katakan mereka tak lebih dari sekadar LSM, atau kalau tidak ormas.
Betapa tidak, setelah ada yang nahas tewas di sana mereka lalu berlomba-lomba menyampaikan imbauan demi imbauan layaknya ormas. Begitukah power pemerintah di Banjarbaru menggunakan kewenangannya? Tak sadarkah mereka bahwa pemerintah itu bisa mengatur masyarakat dengan tegas, seperti wali kota dengan perwalinya, DPRD dengan perdanya.
Begitu juga adanya dengan rencana (termasuk rencana pengembangan pariwisata) untuk pendulangan di Desa Pumpung. Rencana akan demi akan selau mereka “celotehkan” di ruang publik. Lantas konkretnya kapan? Semoga saja segala rencana yang pernah terucap itu saat ini tak mati terkubur seiring banyaknya pendulang yang tewas tertimbun. (*)