Scroll ke bawah untuk melanjutkan
Koran Banjar
Koran Banjar
Catatan RedaksiOpini

Mengatasi Banjir Butuh Pejabat yang Berhati “Malaikat”

Avatar
409
×

Mengatasi Banjir Butuh Pejabat yang Berhati “Malaikat”

Sebarkan artikel ini
Keadaan banjir di Kabupaten Banjar beberapa waktu lalu. (foto:dok koranbanjar.net)
Keadaan banjir di Kabupaten Banjar beberapa waktu lalu. (foto:dok koranbanjar.net)

Bicara soal kerugian banjir, mestinya para korban banjir tidak bisa terima hanya mendapat bantuan 1 atau bahkan 10 bungkus nasi atau 5 bungkus mi instan sehari dari sekian bulan mengalami banjir. Bayangkan, masyarakat mengalami banjir selama 1 bulan, bahkan ada yang mengalami hingga 3 bulan. Kalau dihitung hari selama 30 sampai 90 hari. Kemudian pemerintah memberikan bantuan nasi 1 bungkus hingga 10 bungkus ke setiap rumah. Itupun hanya diterima 1 hari dari berpuluh-puluh hari mengalami kebanjiran. Tapi memang masyarakat dibuat tidak berdaya dengan alasan yang menghibur, “daripada tidak sama sekali,” hanya itu.

PENULIS, DENNY SETIAWAN
PENULIS, DENNY SETIAWAN

Pernahkah kita menghitung-hitung kerugian yang harus kita tanggung akibat banjir ini? Apakah pernah kita mencari tahu penyebab banjir ini? Dan bagaimana sikap kita menghadapi banjir ini? Masyarakat kita seakan-akan dibuat “bodoh” oleh pemangku kebijaksanaan di negeri ini. Sudah tahu bahwa kita akan selalu mengalami banjir, namun yang kita pikirkan hanya mendapatkan bantuan untuk bertahan 2 sampai 3 hari, sedangkan musibah yang kita alami berpuluh-puluh hari. Sangat ironis.

Advertisement
Koran Banjar
Scroll ke bawah untuk melanjutkan

Coba kita hitung secara sederhana, umpama saja penduduk yang menjadi korban banjir tidak bisa bekerja selama 1 bulan atau 3 bulan. Sedangkan  mereka kalau bekerja, tidak tekendala banjir memperoleh pendapatan seminim-minimnya Rp50 ribu per hari. Kemudian mereka mengalami banjir selama 30 hari, artinya penduduk kehilangan pendapatan sebesar Rp1,500.000 per bulan.

Berdasarkan data dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Banjar, banjir yang baru-baru saja terjadi di Kabupaten Banjar menyebabkan 24 ribu jiwa terdampak. Semisal dari 24 ribu jiwa tersebut, 10 ribu di antaranya adalah kepala keluarga yang harus menghidupi keluarga mereka dan tidak bekerja selama 30 hari atau satu bulan. Artinya 10 ribu jiwa yang kehilangan pendapatan Rp1,500.000 per orang dalam per bulan berjumlah Rp15 miliar. Itu kalau hanya satu bulan, bagaimana bagi mereka yang mengalami banjir berbulan-bulan?

Kemudian, setelah banjir, banyak masyarakat yang mengeluhkan kondisi rumah mereka yang rusak akibat banjir, terutama rumah-rumah yang berbahankan kayu. Belum lagi terjadinya kerusakan jalan, jembatan, lahan pertanian, lahan perkebunan. Belum termasuk anggaran yang harus dialokasikan pemerintah untuk bantuan banjir berupa sembako, obat-obatan, perlengkapan untuk mengevakuasi korban banjir dan lain-lain. Kerugian yang paling menyakitkan adalah traumatis yang dialami masyarakat saat menghadapi banjir, lansia, anak-anak, wanita hamil yang wajib dievakuasi.

Anggaran untuk korban banjir ini selalu dialokasikan setiap tahun, pemerintah kita seakan-akan berharap musibah sepeti banjir harus terjadi setiap tahun, supaya anggaran terus dialokasikan. Dan tidaklah mustahil, dari anggaran bencana tersebut ada pihak-pihak yang diuntungkan, kalau saya mengistilahkan, “bahagia di atas penderitaan orang lain.”

Pemangku kebijaksanaan tentu paham, banjir tidak serta merta terjadi, semua ada sebab dan latar belakang. Tetapi semua sudah menjadi rahasia umum, salah satu penyebab banjir tentunya menyangkut kepentingan “kantong-kantong” pribadi oknum pejabat daerah. Daerah hulu yang menjadi penyandang banjir sekarang sudah hampir punah, dibuat menjadi lahan tambang, hutan yang gundul. Kondisi demikian diperparah dengan sampah yang menumpuk, saluran-saluran air yang mampet dan lain-lain. Siapa pelaku-pelaku pengrusak lingkungan itu? Masyarakat tentunya bisa menjawab sendiri.

Ironisnya, bantuan-bantuan alakadarnya membuat mata masyarakat tertutup untuk melihat penanggungjawab yang sesungguhnya terhadap banjir. Apakah galian-galian tambang di daerah hulu sudah direklamasi, apakah pohon-pohon yang ditebang sehingga membuat hutan-hutan gundul sudah ditanami kembali? Sementara itu oknum-oknum penegak hukum yang seyogianya mengawasi keadaan tersebut juga terlibat menjadikan kawasan-kawasan yang kehilangan fungsinya menahan air. Semua menjadi lingkaran yang susah diatasi, sehingga alasan yang selalu disebarkan cukup dengan kalimat, “banjir terjadi sejak dulu, sehingga tidak bisa lagi diatasi.” Mata mereka tertutup untuk melihat kesengsaraan rakyat.

Dari seluruh persoalan banjir yang melanda satu daerah tidaklah elok kalau kita mempersalahkan cuaca, mempersalahkan drainase atau mempersalahkan riwayat daerah yang memiliki dataran rendah. Sebagai contoh, lihatlah negara-negara maju, di mana laut berada di atas permukaan bumi berpijak, seperti di negeri Belanda. Toh mereka bisa mengatasi kondisi-kondisi tersebut dengan membuat kanal-kanal air. Pertanyaan sekarang, mengapa negeri kita tidak bisa melakukan hal yang sama? Apakah pejabat di negeri ini memang menghendaki banjir tidak berhenti, supaya mereka bisa terus-menerus memperoleh keuntungan dari musibah ini? Jawabannya tergantung dari para pejabat yang memiliki hati seperti “malaikat”. (*) 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Protes RUU Anggota Parlemen Menari Perang Prabowo Ajak Puasa 5 Tahun KPK Lelang Barang Koruptor Gus Miftah Meminta Maaf Gus Miftah Ejek Penjual Es Teh