Oleh: Rusmanadi
Arus air sungai di pusaran Lu’uk Bargaja itu beriak. Perlahan, gelembung air bemunculan ke permukaan sungai. Hingga kemudian, tiba-tiba muncul sesosok perempuan di antara gelembung itu. Lambung Mangkurat masih berjibaku dengan keterkejutan, saat sosok perempuan itu menyapa dan menanyakan maksud tapa yang dilakukannya.
“Akulah si Raja Puteri. Puteri Junjung Buih yang dicari. Siapkan oleh andika (anda/kamu) mahligai tinggi, sudilah aku menjadi raja nanti,” ujar sosok perempuan itu setelah Lambung Mangkurat menjelaskan maksudnya bertapa di atas lanting (rakit) seraya balarut banyu (mengikuti arus sungai) selama 40 hari 40 malam.
Mahligai yang diminta haruslah selesai dibangun dalam satu hari. Sang puteri juga meminta dibuatkan kain sepanjang tujuh meter yang ditenun dan dicalap (dicelup) atau diwarnai oleh 40 orang putri, dengan motif wadi atau padiwaringin.
Menurut sahibul hikayat, itulah kain calapan atau sasirangan yang pertama kali dibuat, pada sekitar abad XII silam. Oleh masyarakat kala itu dikenal sebagai batik sandang yang disebut kain calapan. Seiring zaman, kemudian dikenal dengan nama sasirangan.
Konon ceritanya, batung batulis (batung = batang bambu) yang digunakan Lambung Mangkurat untuk membangun mahligai tinggi permintaan sang puteri, hanya ada di gunung Batu Piring. Sekarang ini, gunung Batu Piring masuk dalam wilayah Paringin Selatan, Kabupaten Balangan.
“Karena itu, Kabupaten Balangan khususnya Paringin, memiliki ikatan secara historis dengan kain sasirangan,” ujar Siti Rohanah, seorang pengrajin sasirangan, asli warga Paringin, Kecamatan Paringin ini.
Meski mengaku bukan terinspirasi dari cerita hikayat tersebut, namun Siti Rohanah berhasil membuat motif sasirangan baru. Kreatifitasnya mendorong ia menjadikan rapun paring (rumpun bambu) sebagai motif sasirangan khas Balangan.
Kreatifitasnya menciptakan motif sasirangan yang kental dengan nuansa lokal tersebut, menghantarkan Siti Rohanah memenangkan ajang Kompetisi Usaha “Spectraprenuer Award” PT Adaro Indonesia.
“Bermodalkan uang hadiah dari Kompetisi Usaha itulah, saya bisa membangun tempat ini,” ujar Siti Rohanah seraya menyapukan pandangan ke seluruh ruangan sederhana berukuran lebih dari 18m x 12m itu.
Di ruangan itulah Siti Rohanah menjalankan segala aktivitas usahanya. Di situ ia melaksanakan kursus-kursus seperti kursus menjahit, membuat kain sasirangan, kursus komputer, tata boga dan tata rias yang dikelolanya kini. “Tahun 1994 saya mulai usaha menjahit pakaian,” Siti Rohanah menerawang cerita silam.
Hasil pekerjaannya yang bagus membuat orang-orang tertarik untuk belajar menjahit dengannya. Menangkapnya sebagai peluang usaha, Siti Rohanah kemudian membuka kursus menjahit di rumahnya, di pinggiran terminal Kota Paringin.
Menurut Siti Rohanah, seringkali pelanggan yang datang minta jahitkan pakaian dengan bahan kain sasirangan. “Kadang mereka datang dengan membawa kain sendiri. Tapi tak jarang, pelanggan minta saya yang mencarikan kainnya,” ujarnya.
Kain sasirangan kala itu masih sulit didapat. Kain khas tradisional Banjar itu hanya ada di Martapura, Kabupaten Banjar dan di Banjarmasin yang untuk pemesanannya memerlukan waktu cukup lama. Sasirangan juga bisa didapatkan di Kota Amuntai, Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU) namun dengan harga yang relatif lebih mahal.
Kondisi tersebut kemudian menumbuhkan keinginan dalam diri Siti Rohanah untuk bisa membuat dan memproduksi kain sasirangan sendiri. Keinginan itu akhirnya terwujud. 2014 lalu, melalui kegiatan pelatihan yang diselenggarakan oleh Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi (Disperindakop) setempat, Siti Rohanah mulai mempelajari cara membuat kain sasirangan.
Sejak saat itu, Siti Rohanah bukan hanya menjahit pakaian dan memberikan kursus saja. Tetapi ia juga telah mampu memproduksi bahan baku sendiri, khususnya kain sasirangan.
Keuletan dan kerja keras Siti Rohanah berbuah manis. Kreatifitasnya dalam menciptakan motif sasirangan baru bertema rapun paring yang orisinil, selain menghantarkannya meraih penghargaan Spectraprenuer Award PT Adaro Indonesia, juga menarik perhatian perusahaan pertambangan batu bara nasional tersebut untuk mengalokasikan program Corporate Social Responsibility (CSR) kepada Lembaga Kursus dan Pelatihan (LKP) Sahabat yang dibentuknya sejak 2013 lalu.
Tahun 2016, melalui pelaksanaan program CSR PT Adaro Indonesia, Siti Rohanah sukses menyelenggarakan pelatihan pembuatan kain sasirangan. Sejak saat itu, selain membuka kursus di rumahnya, ia juga dipercaya PT Adaro Indonesia melalui progam CSR untuk mengajar kursus membuat kain sasirangan hingga ke kabupaten tetangga.
Hingga saat ini, tercatat ia telah memberikan kursus ke beberapa desa, antara lain ke Desa Lasung Batu, Paran, Babayau, Bugin, Harapan Baru dan Tebing Tinggi di Balangan. Selain itu juga pernah diminta Adaro untuk memberikan kursus di Desa Maburai Kabupaten Tabalong, di Desa Tuhup Palangkaraya Kalimantan Tengah dan di Barabai Kabupaten Hulu Sungai Tengah.
Tahun 2016 itu pula Siti Rohanah membangun tempat tinggal sekaligus workshop yang baru di Desa Haur Batu, Paringin Kota. Meski sederhana dan jaraknya jauh dari jalan raya, namun workshop itu tak pernah sepi dari pengunjung. Baik mereka yang mengikuti kursus maupun sekedar ingin menjahit pakaian.
Dalam mengerjakan kain sasirangan, selain dibantu oleh delapan orang karyawan tetap, Siti Rohanah juga memberdayakan penduduk sekitar. Bila pesanan kain sasirangan sedang ramai, ia merekrut ibu-ibu di sekitar tempat tinggalnya sebagai pekerja lepas.
Istilah sasirangan sendiri diambil dari kata “sa” yang berarti “satu” dan “sirang” yang berarti “jelujur” atau disebut juga “manyirang” yang berarti menjelujur. Hal itu berdasarkan pembuatan sasirangan yang dikerjakan dengan cara menjelujur untuk kemudian diikat dan dicelup.
Menurut kepercayaan masyarakat Banjar dahulu, sasirangan merupakan kain yang memiliki tuah. Pasca pembuatan sasirangan untuk pertama kali sesuai permintaan Puteri Junjung Buih, kain itu kemudian dipergunakan sebagai media untuk batatamba (berobat).
Pada zaman dahulu, sasirangan dibuat dengan corak dan warna yang sesuai dengan keperluan pengobatan serta jenis penyakit yang diderita seseorang. Seperti misalnya sasirangan dengan warna hijau sebagai tanda bahwa pemakainya sedang dalam proses pengobatan penyakit lumpuh.
Selain sebagai media penyembuhan, sasirangan juga merupakan kain yang sakral. Karena itu, zaman dahulu sering kali digunakan untuk prosesi adat.
Saat ini, sasirangan sudah merakyat. Ia tak lagi dianggap sakral dan peruntukkannya bukan lagi sebagai sarana spiritual. Sasirangan kini telah disejajarkan dengan batik.
“Tidak ada,” ujar Siti Rohanah ketika ditanya apakah ia pernah menerima permintaan pembuatan kain sasirangan secara khusus untuk tujuan pengobatan. “Tetapi kalau untuk kelengkapan prosesi adat seperti bamandi-mandi misalnya, masih sering,” ia menambahkan.
Untuk prosesi adat seperti bamandi-mandi, ujar Siti Rohanah, biasanya pelanggan minta dibuatkan sasirangan dengan warna dasar kuning bermotif gigi haruan.
Pengamat budaya dan kebijakan publik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin, Taufik Abain menilai, PT Adaro Indonesia dalam hal ini telah mampu memahami bukan hanya sekedar persoalan-persoalan mikro, tetapi juga persoalan makro yang bernilai filosofis.
“Dalam konteks ini, CSR yang diberikan Adaro bukan hanya telah memberikan dampak peningkatan secara ekonomi tetapi juga perlindungan dan pelestarian terhadap maruah kultur budaya masyarakat,” ujar peraih gelar Doktor dari Universitas Gajah Mada (UGM) Jogjakarta itu.
Menurutnya, disinilah pentingnya perusahaan untuk menggali dan mempetakan kebutuhan dasar masyarakat sekitar, baik secara ekonomi maupun budaya. “Dengan begitu, perusahaan akan mampu memahami jantung persoalan di masyarakat. Karena kebudayaan, berkaitan erat dengan keyakinan dan cara hidup,” kata Taufik Arbain.
Hal tersebut, ujarnya, akan menepis anggapan dari pihak-pihak yang memahami CSR hanya sebagai sebagai topeng suap oleh perusahaan dalam bentuk kebijakan.
Senada dengan Taufik Arbain, CSR Department Head PT Adaro Indonesia, Leni Marlina mengakui bahwa, salah satu pertimbangan pihaknya memberikan CSR kepada LKP Sahabat berupa pelatihan pembuatan kain sasirangan adalah untuk mengangkat unsur kearifan lokal.
“Selain fokus kami dibidang ekonomi untuk kemandirian masyarakat, hal tersebut juga merupakan salah satu komitmen PT Adaro Indonesia dalam upaya pelestarian budaya,” katanya.
Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan sendiri sangat serius dalam upaya pelestarian sasirangan sebagai warisan budaya. Hal tersebut dibuktikan dengan mendaftarkan sasirangan ke Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) Departemen Hukum dan HAM RI.
Zaman dahulu, kain sasirangan diberi warna dengan zat pewarna alami yang terbuat dari biji-bijian, buah, daun, kulit dan umbi tanaman. Untuk memperoleh warna kain sasirangan yang lebih tua atau lebih muda serta agar tahan lama, bahan pewarna alami yang digunakan dicampur dengan rempah-rempah. Seperti garam, jintan, lada, pala, cengkeh, jeruk nipis, kapur, tawas, cuka dan terusi.
Saat ini, ujar wanita Kelahiran 1973 ini, pembuatan kain sasirangan dilakukannya dengan menggunakan pewarna buatan. “Kami belum punya keterampilan untuk membuat kain sasirangan menggunakan pewarna alami,” ujarnya.
Ia sangat berharap, ke depannya PT Adaro Indonesia melalui program CSR dapat memberikan bantuan berupa pelatihan pembuatan sasirangan menggunakan pewarna alami.
Menanggapi hal tersebut, Leni Marlina tak menampik. Menurutnya, apa yang menjadi harapan Siti Rohanah sangat mungkin untuk dilaksanakan. Bahkan bukan hanya sekadar pelatihan pewarnaan, tetapi juga pengembangan motif hingga pengelolaan air limbah. “Insya Allah, Adaro berkomitmen hingga akhir,” ujar Leni Marlina di antara senyum yang mengembang.(*)