Ciptakan Perbukitan Dengan Urukan Tanah
Gunung Kentawan dalam cerita rakyat yang beredar, berasal dari ambisi Datung Ayuh sang leluhur masyarakat Meratus yang ingin meninggikan tanah untuk menghindari banjir di bumi Kalimantan, dan keangkuhan sosok raksasa berkepala tujuh yang pahit lidah.
MUHAMMAD HIDAYAT, Loksado
ANTARA 1 hingga 2 lustrum lalu, saat demam gunung mulai menghampiri anak muda imbas dari serial televisi, serta awal boomingnya medsos berlogo kamera, sebuah bukit bernama Langara mendadak populer di Kalimantan Selatan (Kalsel).
Belum lagi, saat bukit yang terletak di Desa Lumpangi Kecamatan Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS) itu dishooting serial televisi, yang dulu tayang Minggu siang tersebut.
Sekarang entahlah apakah masih tayang.
Alhasil tiap hari libur kala itu, bukit tersebut dipenuhi pemuda-pemudi berfoto ria.
Bahkan di puncak sampai diputar musik ala diskotek, dengan speaker besar yang entahlah dari mana sumber listrik untuk menyalakannya.
Pun demikian di dunia maya, bertebaran foto dengan view tiga buah gunung, juga terlihat Sungai Amandit nan eksotis memanjang di bawahnya, dengan caption lokasi Bukit Langara.
Hingga kepopuleran nama Bukit Langara, mengalahkan Gunung Kentawan yang jadi latar foto-foto milik warganet tersebut.
Sungguh memilukan bagi Gunung Kentawan, andai saja ia memiliki perasaan.
Dalam cerita rakyat, proses terbentuknya gunung tersebut tak kalah mengharukan.
Konon, pada zaman dahulu nenek moyang masyarakat Dayak Meratus, Datung Ayuh mendapat wangsit bahwasanya tanah Kalimantan akan tenggelam, sebab berbatasan langsung dengan laut di berbagai penjurunya.
Maka dari itu, ia bertekad dan menjadikan misi meninggikan daratan di wilayah Meratus, agar tidak tenggelam jika terjadi air bah.
Membikin daratan menjadi tinggi, tentu saja dengan menguruk tanah dari daerah hilir. “Makanya di daerah hilir tidak ada gunung, karena konon diangkut Datung Ayuh,” ucap Sastrawan asal HSS, Aliman Syahrani.
Jika zaman sekarang manusia cukup mudahnya mengangkut material gunung ke hilir dengan truk dan excavator. Maka Datung Ayuh mengangkut tanah dari hilir ke hulu, dengan lanjung di pundak.
Dikisahkan Aliman, dalam sekian kali hilir mudik mengangkut tanah. Disebabkan sering dan lama digunakan, tali lanjung pun putus. Akibatnya, tanah di dalamnya tumpah dan berhamburan.
Lalu, Datung Ayuh pun meninggalkan sementara lanjung dan isinya yang tumpah, untuk mencari gantinya dari tumbuhan yang ada di hutan.
Kemudian, tokoh mitologi lainnya bernama Sumaliiw kebetulan lewat, saat menuju daerah hulu mencari padatuannya (nenek moyang, red). Merasa langkahnya dihalangi gundukan tanah dari lanjung tumpah tersebut, Sumaliiw menyumpah dan mengutuk jadi batu.
Dengan ucapan “bahara jadi bat,” lanjung dan gundukan tanah tersebut lalu menjelma tiga buah gunung batu yang sekarang disebut Gunung Kentawan.
Sumaliiw merupakan tokoh antagonis, berupa raksasa berkepala tujuh yang bertemperamen tinggi, dan sumpah serapahnya bisa jadi kenyataan.
“Versi lain ada yang menyebut Sumaliiw, ada yang menyebut Sumaliing. Tapi yang paling populer kami warga menyebut Sumaliiw,” ucap sastrawan tersebut, yang aslinya merupakan warga kaki gunung Kentawan, Desa Hulu Banyu.
Sumaliiw asalnya adalah seorang anak dari Meratus, yang merupakan orang yang menemukan Sungai Amandit.
Namun nasibnya tak mujur, ia hanyut di sungai ke daerah hilir dan sampai ke kampung antah berantah.
Sewaktu hanyut, kepalanya banyak menabrak batu hingga benjol. Benjolan-benjolan di kepala tersebut, kemudian berbentuk seperti kepala dan menyerupai wajah manusia, hingga ia dikenal berkepala tujuh.
Wujud sudah menjadi raksasa dan berkepala tujuh itu pula yang menumbuhkan sifat pendendam di hatinya.
Apabila ada yang tidak disenanginya, akan dikutuknya jadi batu. Sehingga banyak batu-batu di tepian Sungai Amandit konon merupakan jelmaan sesuatu yang dikutuk Sumaliiw.
Salah satu contoh lain tambah Ali, sapaan akrabnya, di Pagar Haur (Desa Jelatang) ada namanya Batu Babi, juga konon adalah jelmaan seekor babi yang minum di sungai lalu dikutuk Sumaliing jadi batu.
“Bahari (dahulu, red) aku susah payah sampai jadi sekarang ini, menemukan Sungai Amandit. Sekarang babi keenakan meminumnya, bahara (semoga, red) jadi bat (batu, red),” tuturnya, menirukan perkataan Sumaliiw waktu itu.
Kisah ihwal Sumaliiw, sudah dibukukannya dengan judul “Sumpah Batu Kepala Pitu” yang bisa dibaca di perpustakaan-perpustakaan setempat.
Sumaliiw diceritakan ingin kembali ke tanah kelahirannya, setelah sekian lama tersesat.
Sementara kisah Gunung Kentawan, saya juga pernah mendengar beberapa versi lain, seperti berasal dari ambisi Datung Ayuh membikin tangga menuju langit, lalu kakinya tersandung dan jatuh. Tanah yang diangkutnya tumpah jadilah Gunung Kentawan.
Selain di Bukit Langara, pemandangan Gunung Kentawan kini ada spot foto baru di tepi jalan raya sekitar Bayampah Desa Hulu Banyu. Meski demikian, saat ini di instagram tagar “gunung kentawan” masih hanya ada 8 foto.***