Langgar Ar Raudah yang dibangun di pedalaman Meratus, dengan pemandangan menawan di sekelilingnya. Siapa sangka, dana pembangunannya dikumpulkan dari sumbangan di jalan Kota Kandangan.
MUHAMMAD HIDAYAT, Loksado
GUNUNG berjejer, hijau subur akan lebatnya pepohonan. Lukisan alam, karya Tuhan di Pegunungan Meratus.
Di sebuah perbukitan terdapat dusun kecil bernama Dusun Manutui. Di sana berdiri tempat ibadah cantik bernama Langgar Ar Raudah.
Dusun Manutui lokasi langgar itu berdiri, secara administrasi merupakan wilayah Desa Loklahung, Kecamatan Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS).
Langgar Ar Raudah dibangun di ketinggian, sehingga hamparan hutan Pegunungan Meratus memanjakan mata, saat singgah di sana.
Saat pintu musala dibuka ataupun memandang dari kaca musala, dari dalam terlihat Gunung Tanginau bak lukisan anak-anak.
Panorama gunung berbentuk runcing di pucuknya, hijau sekelilingnya bagai sapuan pensil warna crayon.
Meski dibangun di ketinggian, tidak menghalangi bangunan Langgar Ar Raudah, untuk tampil menawan seperti tempat ibadah lazimnya di kota.
Bangunan seluas 6×8 meter itu terbuat dari beton, bagian dalamnya terdapat hiasan dinding. Fasilitasnya juga sudah tersedia pengeras suara, dan yang lainnya.
“Biaya pembangunan langgar dari bantuan orang-orang, dan dari pemerintah juga ada memberi semen 100 sak,” ucap Muhammad Mahdi, seorang warga, yang juga mengelola langgar itu.
Tetapi, ungkap pria bernama asli Uhan sebelum mualaf itu, biaya utama pembangunannya, dari mengumpulkan sumbangan di jalan raya.
Sumbangan dilakukan dan dikelola seorang dai, yang berdakwah di dusun.
“Ustaz Hamdani yang mengumpulkan sumbangan di dekat Bundaran Ketupat di Hamalau (Kecamatan Sungai Raya, red),” ungkap pria 64 tahun ini.
Mendengar pernyataan itu, saya terkaget. Sungguh luar biasa, ternyata pengumpulan sumbangan yang biasanya saya lihat, tiap kali lewat di bundaran, dananya untuk pembangunan langgar di pedalaman.
Pria yang sudah memiliki 10 anak itu mengungkapkan, pembangunan dimulai sekitar 2017 lalu. Dibangun secara bertahap, sesuai dengan ketersediaan barang dan biayanya.
Menurut pria yang sehari-hari bertani, biaya membuat bangunan di pedalaman bisa lebih mahal. “Misal pasir, beli di Tanuhi (Desa Hulu Banyu, red). Kemudian harus diagkut lagi dengan ojek,” terangnya.
Kendaraan roda 4 belum bisa sampai ke dusun, sehingga angkutan material hanya sampai jembatan, selebihnya diangkut dengan roda 2.
Saat ini, bangunan utama, rumah dai dan gudang sudah selesai dibangun. Tanah untuk kuburan musliminpun juga sudah tersedia.
Tinggal tahap akhir pembuatan pagar, yang masih menunggu dana selanjutnya.
Sejak 20 Februari lalu, ada mahasiswa yang sedang kuliah kerja nyata (KKN), dari salah satu universitas Islam di Banjarmasin tinggal sementara di sana. (dya)