MENJADI seorang atlet bela diri karate syarat prestasi hingga berhasil mendapat kesempatan menjadi anggota TNI melalu jalur prestasi tentu sebuah pencapaian yang luar biasa bagi Teguh Mulyawan. Sekian kekalahan dan berbagai kemenangan telah ia raih, bahkan amnesia akibat serangan lawan dalam sebuah kejauraan besar pun pernah ia alami.
Saat ditemui koranbanjar.net di daerah Landasan Pacu Banjarbaru beberapa hari lalu, anggota TNI asal Tegal, Jawa Tengah, berpangkat Sersan Mayor itu perlahan menceritakan pengalaman hidupnya selama menggeluti dunia karate yang ia awali sejak duduk di bangku kelas dua SDN 5 Adipurna Tegal.
“Sampai kelas tiga di SMPN 2 Adipurna Tegal saya sabuk coklat. Kemudian di tahun 1991 sebelum lulus SMA pada 1992 saya berhasil lulus ujian sabuk hitam Dan 1,” kata Pelatih Bintara Kompi Secata Rindam VI Mulawarman itu.
Keseriusan dan konsistensi Teguh Mulyawan dalam berlatih karate membuatnya berhasil menjuarai kejuaraan karate se Jawa, Bali dan Nusa Tenggara (Jawanusra) pada 1989 saat ia masih sekolah.
“Karena juara satu lalu Panglima Kodam IV Mayjen TNI Wismoyo Arismunandar (sekarang purnawirawan) waktu itu memberi saya kesempatan untuk ikut pendidikan TNI AD. Memang ikut tes juga tapi kan cuma formalitas saja karena saya masuknya lewat jalur prestasi atlet,” ungkapnya.
Setelah lulus dari pendidikan TNI AD, Teguh mendapat tugas pertamanya di Pusat Pendidikan Zeni (Pusdikzi) Bogor, Jawa Barat. Beberapa tahun menikmati tugas pertamanya, kemudian ia dipindah ke Detasemen Zeni Tempur (Denzipur) 8 Banjarbaru hingga saat ini dan menikah dengan seorang wanita asli Banjarbaru.
Meski dulunya sempat menjadi mahasiswa saat ia sudah menjadi anggota TNI, namun alumni SMAN 2 Slawi Kabupaten Tegal itu tak menyelesaikan kuliahnya. “Maklumlah saya di TNI pada waktu itu banyak sekali tugasnya, ke Timor Timur, Aceh, Ambon sampai ke Papua segala,” ujar ayah beranak dua itu.
Prestasi di bidang olahraga karate tak hanya didapat Teguh di kejuaraan regional dan nasional saja, saat menggeluti karate tradisional aliran Kyokushin atau Daidojuku (aliran karate yang boleh menyerang dengan kontak langsung, red) ia berhasil meraih medali emas pada kejuaraan karate tradisonal Asia OCENIA tahun 2010 di Jakarta, yang diikuti puluhan karateka handal dari 17 negara.
Selanjutnya, setelah di FORKI Teguh kembali mendapat kesempatan mengikuti kejuaraan karate berskala internasional pada 2013 di Kuala Lumpur, Malaysia. Meski tidak berhasil membawa pulang medali emas di kejuaran yang mempertemukan para karateka dari negara se Asia Pasifik itu, Teguh tetap berhasil meraih medali perunggu.
“Untuk bisa menuju kejuaran internasional tentu harus jadi juara regional dan nasional dulu, baru direkomendasikan oleh daerah. Kebetulan saya juara tinju di Porprov 2002 Banjarmasin dengan berhasil mendapat medali emas. Kemudian di karate Porprov Tapin 2006 saya meraih tiga medali emas sekaligus,” kisahnya.
Tak berhenti di situ, masih di tahun yang sama usai Porprov 2006 Teguh kembali memenangi kejuaraan karate Piala Presiden di Jakarta.
Namun segudang prestasi dari kemenangannya itu bukan berarti dilewati Teguh dengan mudah, saat bertanding memperebutkan Piala Menpora tahun 2010 di Surabaya, Jawa Timur, ia pernah mendapat serangan dari lawan hingga pingsan. Bahkan kala itu Teguh sempat mengalami amnesia.
“Saya masih lupa asal daerah mana lawan yang membuat saya amnesia waktu itu, kalau tidak salah dia dari tuan rumah atau dari Jakarta. Saya sempat tak sadarkan diri karena tendangannya mengenai rahang saya. Waktu itu saya benar-benar amnesia, bahkan disuruh menyebut nama sendiri saja saya lupa,” tuturnya.
Teguh kala itu mengalami amnesia hingga… (bersambung)