Tak Berkategori  

Kisah Haru Seorang Bidan Tangani Pasien Covid-19; Saya Hanya Bisa Menangis

“SEPULUH persalinan pun saya sanggup daripada harus menangani satu pasien terindikasi Covid-19. Tapi bagaimana lagi, mau tak mau saya harus sanggup. Saya hanya bisa menangis ketika tahu saya masuk tim penanganan pasien Covid-19 di ruang isolasi. Tanpa ilmu keperawatan, saya berpikir bagaimana saya nanti, bagaimana anak saya, orangtua saya? Mereka akan berpotensi berisiko,” tuturnya memulai cerita.


Laporan Jurnalis Koranbanjar.net, DONNY IRWAN – MARABAHAN


Siang ini terasa panas sekali. Dengan alasan puasa nisfu di tengah merebaknya wabah virus corona, saya pun memilih istirahat di rumah untuk beberapa jam. Sambil berbaring di kamar, saya membaca-baca berita dari sejumlah portal online di gawai. Nyaris semua informasi hanya tentang pandemi global mematikan itu.

Saya jadi teringat kawan saya. Dia seorang bidan di sebuah rumah sakit di Marabahan. Saya baru mendapat informasi bahwa dia tergabung ke dalam tim penanganan pasien terindikasi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) di kota saya. Aneh memang. Namun saya pikir ini sesuatu yang menarik.

Saya pun memutuskan untuk mewawancaranya. Dalam kondisi serba waspada, saya putuskan wawancara dilakukan secara tertulis via Whatsapp.

Obrolan dimulai dari penjelasan tujuan saya menulis ceritanya sebagai bidan yang bertugas menangani pasien terindikasi Covid-19. “Ini tujuannya positif, yakni untuk memberi semangat para petugas kesehatan yang senasib denganmu,” kataku di awal wawancara.

Tanpa pikir panjang, dia pun bersedia dengan syarat saya harus merahasiakan identitasnya. Dengan kesepakatan itu, saya samarkan namanya sebagai Putri.

Putri dipilih dan diminta bergabung ke dalam tim penanganan pasien terindikasi Covid-19 di Marabahan lantaran kuantitas jumlah petugas kesehatan di rumah sakit tempatnya bekerja belum maksimal.

“Sepuluh persalinan pun saya sanggup daripada harus menangani satu pasien terindikasi Covid-19. Tapi bagaimana lagi, mau tak mau saya harus sanggup. Saya hanya bisa menangis ketika tahu saya masuk tim penanganan pasien Covid-19 di ruang isolasi. Tanpa ilmu keperawatan, saya berpikir bagaimana saya nanti, bagaimana anak saya, orangtua saya? Mereka akan berpotensi berisiko,” tuturnya memulai cerita.

Putri sama sekali tak menyangka virus mematikan itu menyebar hingga ke Kabupaten Barito Kuala. Status mereka yang terindikasi pun beragam, dari hanya orang dalam pemantauan (ODP), pasien dalam pengwasan (PDP), hingga ada yang dinyatakan positif Covid-19.

Basic pendidikan saya D4 Kebidanan. Tidak punya ilmu keperawatan, tapi tetap diminta jaga (merawat) pasien di ruang isolasi dengan pembekalan pengetahuan seadanya. Dari PDP sampai pasien yang positif Covid-19, saya harus jaga bergiliran dengan tim,” cerita bidan beranak satu itu.

Kesulitan menjaga kontak dengan pasien yang tengah menjalani isolasi, serta harus sanggup tidak bertemu keluarga selama tiga bulan bertugas adalah hal yang paling menyedihkan bagi Putri sebagai salah satu petugas penanganan pasien terindikasi Covid-19.

“Jika terjadi kontak antara kami dengan pasien, kita belum tahu apa yang terjadi setelah itu. Sedih sekali rasanya ketika saya memeluk anak saya dan mencium tangan orangtua selepas bertugas,” katanya.

Saat ini, Putri dan tujuh petugas lainnya masih bisa pulang ke rumah masing-masing selepas bertugas dengan catatan wajib mengisolasi diri dengan ketat terhadap keluarga. Tidur pun harus sendiri di kamar terpisah.

Namun itu hanya sementara. Nantinya mereka akan diberikan tempat penginapan khusus dan tidak boleh pulang ke rumah selama tiga bulan.

“Jika kami sudah diisolasi di tempat khusus, keluarga di rumah hanya bisa tahu kabar kami melalui telepon. Kalau keluarga pasien masih syukur bisa saling lihat melalui kaca ruang isolasi. Sedangkan kami petugas harus jauh dari keluarga,” ujarnya. (Bersambung)