Datu Sanggul bernama asli Syekh Muhammad Abdussamad. Dalam riwayat lain dia juga disebut Ahmad Sirajul Huda. Di masa Kerajaan Banjar, masyarakat yang sudah aqil baligh, kemudian meninggalkan sholat Jumat, maka akan dikenakan denda. Nah, masa itu, Datu Sanggul dikenakan denda karena pernah meninggalkan sholat Jumat di kampungnya, dan ternyata dia telah melaksanakan sholat Jumat di Makkah atau Masjidil Haram.
Di masa Kerajaan Banjar, masyarakatnya sangat menjunjung tinggi nilai agama, mewajibkan bagi laki laki yang sudah aqil balik atau sudah dewasa untuk melaksanakan salat Jum’at di masjid kampung masing masing. Kalau tidak, melaksanakan kewajiban tersebut, akan didenda.
Dalam riwayat, Datu Sanggul dipercayai memiliki keramat melaksanakan Salat Jum’at di Masjidil Haram setiap Jum’at. Karena itu, setiap Jum’at itu pun dia harus membayar denda kepada kerajaan karena dikira telah mengabaikan sholat Jumat di kampong, hingga hartanya habis. Suatu saat hartannya yang tertinggal hanya kuantan dan landai (alat untuk memasak nasi dan sayuran).
Dalam kondisi itu, dia didesak istri, karena tidak memiliki barang yang bisa dipakai untuk membayar denda, Datu Sanggul akhirnya berjanji untuk melaksanakan salat Jum’at di masjid kampungnya. Jumat itu, sungai di kampungnya sedang meluap dan hampir terjadi banjir lantaran hujan yang sangat lebat pada malam hari.
Di saat para jamaah sedang berwudhu di pinggir sungai,tiba-tiba Datu Sanggul datang dan langsung terjun ke sungai yang sedang meluap. Dia bercebur lengkap dengan pakaiannya. Orang-orang berteriak dan menjadi gempar. Dan tiba-tiba, di tengah kegemparan masyarakat itu, Datu Sanggul muncul dari tengah sungai dan berjalan di atas air dengan tenangnya, lalu langsung memasuki masjid. Lebih mengherankan, pakaian dia tidak basah sama sekali, kecuali anggota wudhunya.
Masyarakat semakin terkejut, tatkala imam mengangkat takbir memulai salat Jum’at diikuti jamaah lain, Datu Sanggul hanya melantunkan syair tadi; “Riau-riau padang si bundan. Di sana padang si tamu-tamu. Rindu dendam tengadah bulan. Di hadapan Allah kita bertemu… Allahu Akbar”.
Bersamaan ucapan Allahu Akbar itu, tubuh dia mengawang-awang hingga selesai orang mengerjakan salat Jum’at. Melihat keadaan Datu Sanggul yang demikian, orang-orang yang berada di masjid semakin keheranan.
“Aku tadi salat di Makkah. Kebetulan di sana ada selamatan dan aku meminta sedikit, mari kita cicipi bersama walau sedikit.”
Sejak saat itulah, masyarakat percaya sepenuhnya bahwa Datu Sanggul adalah seorang waliyullah. Barang-barang Datu Sanggul yang semula disita pun dikembalikan Kerajaan Banjar.
Riwayat lain menceritakan, Datu Sanggul sangat tekun dalam menaati perintah gurunya di dalam khalwat khusus yang sama artinya dengan ‘menyanggul’ atau menunggu (turunnya) ilmu dari Allah SWT
Ada juga yang mengatakan ia sering menyanggul atau menghadang pasukan tentara Belanda di perbatasan Kampung Muning, sehingga tentara Belanda pun kocar-kacir dibuatnya.
Versi lain menyebutkan, gelar Datu Sanggul itu karena kegemaran dia menyanggul (menunggu) binatang buruan.
Ada juga yang mengatakan rambutnya yang panjang dan selalu disanggul (digelung).
Ketulusan hatinya dalam melaksanakan ibadah, dan ketaqwaannya dalam menegakkan kalimat-kalimat Allah, serta keramat yang diberikan Allah kepadanya, membuat ia terkenal sampai ke pelosok negeri.
Datu Sanggul sangat terkenal pula dengan syair-syairnya yang begitu puitis dan penuh makna.
Salah satu syair yang sangat terkenal adalah syair pantun “Saraba Ampat” (Serba Empat). Syair tersebut berbahasa Banjar yang sarat dengan pelajaran tasawuf. Di antara petikan syair tersebut berbunyi;
“Allah jadikan saraba ampat. Syariat tharikat hakikat ma’rifat. Menjadi satu di dalam khalwat. Rasa nyamannya tiada tersurat”.
Ada lagi syair ma’rifat lainnya:
“Jangan susah mencari bilah. Bilah ada di rapun buluh. Jangan susah mencari Allah. Allah ada di batang tubuh”
Kemudian, ada lagi syair lain yang berbunyi:
“Riau-riau padang si bundan. Di sana padang si tamu-tamu. Rindu dendam tengadah bulan. Di hadapan Allah kita bertemu”.(wikipedia.org/sir)