“Seorang diantara `alim ulama jang betul-betul rspsetentatif, baik ilmu maupun amal dan perdjuanganja, dalam mengadjar, menjabarkan dan membela kebenaran faham dan amaliah masjrab Ahlussunnah `wal Djama`ah”.
Demikian kutipan yang menggambarkan sosok KH Syarwani Abdan yang dikutip dari sambutan KH Idham Chalid, 22 Mei 1967 M, selaku Ketua PBNU. (dikutip dari buku Manaqib Tuan Guru Bangil, Majelis Taklim Raudatut Thalibin).
Hendra Lianor, KoranBanjar.net
Tuan Guru Bangil. Begitulah Siekh KH Muhammad Zaini bin Abdul Ghani (Abah Guru Sekumpul) menyebut KH Syarwani Abdan di kerap kesempatan majelis beliau di Sekumpul Martapura, Kalsel. Hal tersebutlah yang kemudian kuat melekat sebagai gelar Kyai Syarwani Abdan.
Dilahirkan di Kampung Melayu Ilir, Martapura, Kalsel, pada tahun 1913 M bertepatan pada 1334 H, dari pasangan H Muhammad Abdan dan Hj Halimatussa`diyah, Syarwani Abdan (nama kecilnya) merupakan silsilah ke-6 dari keturunan ulama besar Kalsel, yakni Syiekh Muhammad Arsyad Al Banjari atau yang sering disebut Datu kelampayan.
Dijuluki sebagai Mutiara dari Banjar, KH Syarwani merupakan seorang yang memiliki kecerdasan serta ketekunan yang sangat menonjol. Hal itu sangat terlihat saat menuntut ilmu di Mekkah sehingga diberi julukan tersebut.
Diumur 16 tahun, beliau dibawa pamannya Syeikh Muhammad Kasyful Anwar (Pengasuh Ponpes Darussalam kala itu) bersama saudara sepupunya untuk menimba ilmu di Mekkah Al Mukarromah.
Di antara guru gurunya yaitu Sayyid Amin Kutby, Sayyid Alwi Al-Maliki, Syeikh Umar Hamdan, Syeikh Muhammad al-Araby, Sayyid Hasan Al-Masysyath, Syeikh Abdullah Al-Bukhari, Syeikh Saifullah Daghestani, Syeikh Syafi’i asal Kedah, Syeikh Sulaiman asal Ambon, dan Syekh Ahyad asal Bogor.
Tak mengherankan di bawah bimbingan Sayyid Muhammad Amin Kutbi, Syeikh Syarwani sempat mendapatkan kepercayaan mengajar selama beberapa tahun di Masjidil Haram.
10 tahun menuntut ilmu agama di Mekkah, tepatnya pada 1939 M, Syeikh Syarwani kembali ke Kota Martapura tempat kelahirannya untuk menyebarkan ilmu. Majelis di rumah ia dirikan serta mengajar di Ponpes Darussalam, Pondok yang ia pertama kali menuntut ilmu agama.
Sempat diminta menjadi qhadi di Martapura, namun Syeikh Syarwani menolaknya dengan alasan lebih suka berkhidmad untuk ummat tanpa terikat lembaga.
Di kalangan ulama, ia mulai dikenal sebagai seorang yang penghafal Alquran dan di dalam dirinya terhimpun ilmu syari`at thariqat dan hakekat.
1943 M, Syeikh Syarwani pergi ke Kota Bangil, Jawa Timur, dan sempat membuka majelis di lingkungannya sendiri. Setahun berada di Bangil, ia kemudian kembali lagi ke Martapura melanjutkan majelis-majelis Taklim yang telah dibinanya sejak pulang dari kota Mekkah.
7 tahun berada di Martapura, tahun 1950 ia beserta keluarganya memutuskan untuk hijrah ke Bangil. Tak langsung mendirikan pondok pesantren, beliau cendrung mempelajari terlebih dahulu keadaan lingkungan dan penduduk kota tersebut. Di Bangil ia kemudian dikenal sebagai sosok yang begitu disegani oleh kalangan ulama di Jawa Timur. Meski demikian ia tetap bersikap tawadhu` dan selalu rendah hati.
30 tahun pasca menuntut ilmu di Mekkah, Syiekh Syarwani mendirikan Pondok Pesantren yang diberi nama Pondok Pesantren Datuk Kelampayan, tepatnya pada tahun 1970. Nama ini diambil dari gelar datuknya yakni Syiekh Maulana Muhammad Arsyad Albanjari.
Dari hasil didikan Tuan Guru Bangil lahirlah murid muridnya yang menjadi ulama-ulama besar. Di antaranya adalah Syekh Muhammad Zaini Abdul Ghani Al-Banjari, Kyai Abdurrahim, Kyai Abdul Mu’thi, Kyai Khairan (daerah Jawa), KH. Prof. Dr. Ahmad Syarwani Zuhri (Pimpinan PP. Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari Balikpapan), KH.Muhammad Syukri Unus (Pimpinan MT Sabilal Anwar al-Mubarak Martapura), KH. Zaini Tarsyid (Pengasuh MT Salafus Shaleh Tunggul Irang seberang Martapura) yang juga menantunya, KH. Ibrahim bin KH. Muhammad Aini (Guru Ayan) Rantau, KH. Ahmad Bakrie (Pengasuh PP. Al-Mursyidul Amin Gambut), KH. Syafii Luqman, Tulung Agung, KH. Abrar Dahlan (Pimpinan PP di Sampit, Kalimantan Tengah), KH. Safwan Zuhri (Pimpinan PP Sabilut Taqwa Handil 6 Muara Jawa Kutai Kertanegara) dan banyak lagi tokoh tokoh lainnya yang tersebar di penjuru Indonesia.
Di suatu kesempatan tahun lalu menjelang Haul Guru Bangil ke-39, Guru Muaz Hamdi, Keraton, Martapura, sempat menceritrakan bagaimana sosok seorang Guru Bangil kepada koranbanjar.net.
“Guru Bangil adalah seorang ulama mastur (wali yang tersembunyi), berbeda dengan murid beliau yaitu KH Zaini Abdul Ghani atau Guru Sekumpul yang menjadi ulama masyhur. Beliau pernah berjualan di toko dan sampai-sampai orang tidak mengira kalau beliau ini adalah seorang ulama besar,” tutur Guru Muaz.
Guru Muaz melanjutkan, setiap tahun, Haul Guru Bangil selalu dibanjiri jamaah dari berbagai penjuru, bahkan dari mancanegara. Ini merupakan karomah beliau, karena sesuatu yang menyalahi adat itu adalah karomah. Hati manusia kita tidak tahu yang menggerakkan.
“Guru Syarwani Abdan adalah orang yang sangat tawadhu, sampai-sampai anak murid beliau tidak diizinkan untuk salaman dan mencium tangan beliau di masjid dan di tempat umum,” tutur Guru Muaz.
Guru Bangil wafat di usia 74 tahun, pada Senin malam pukul 20 : 00 Wib, tanggal 11 September 1989 M bertepatan 12 Shafar 1410 H. Guru Bangil dimakamkan di pemakaman keluarga habib bermarga Al-Haddad, yang berjarak tidak jauh dari rumah dan pondoknya. (dra)