Dilema jurnalis perempuan dalam melaksanakan tugas peliputan masih terancam adanya Kekerasan Berbasis Gender (KGB).
BANJARMASIN, koranbanjar.net – Di samping menjalankan proyeksi keredaksian dan mau tidak mau harus dilaksanakan, disisi lain jurnalis perempuan harus menghadapai berbagai tindakan kekerasan seksual yang berpotensi mengancamnya.
Seorang Psikolog Klinis Kalimantan Selatan, Melinda Bahri mengupas persoalan tersebut dalam diskusi publik yang digelar AJI Persiapan Banjarmasin di ruang redaksi Kalimantan Post, di Jalan DI Panjaitan Banjarmasin, Rabu (28/5/2025).
Dalam diskusi yang bertajuk “Membangun Ruang Aman untuk Jurnalis Perempuan” tersebut, Melinda Bahri memaparkan, bahwa kekerasan berbasis gender (KBG) mencakup kekerasan fisik, psikis, seksual, dan sosial.
Dalam konteks jurnalisme, KBG sering kali tidak terlihat secara kasat mata, tetapi mempengaruhi kesehatan mental korban secara serius.
“Kekerasan seksual bukan hanya soal sentuhan fisik, tapi juga bisa berupa intimidasi, ucapan bernuansa seksual, atau manipulasi relasi kuasa,” urai Melinda.
Lanjutnya, dalam banyak kasus, korban perempuan dianggap lemah dan memalukan, sehingga tingkat pelaporannya rendah.
Ketergantungan ekonomi, budaya patriarki, serta lingkungan sosial yang permisif ikut memperkuat siklus kekerasan itu.
Dirinya juga mengingatkan bahwa trauma akibat kekerasan bisa berdampak jangka panjang, termasuk kehilangan kepercayaan diri, menarik diri dari ruang sosial, bahkan depresi.
“Maka, penting untuk menyediakan dukungan psikologis dan sistem pemulihan yang berpihak pada korban,” jelasnya.
Sementara, Soraya Alhadi, jurnalis dan juga pengurus AJI Persiapan Banjarmasin, menyampaikan, bahwa data riset menunjukkan tingginya angka kekerasan verbal, pelecehan fisik, hingga pemaksaan relasi seksual terhadap jurnalis perempuan.
“Sebab aktivitas-aktivitas jurnalistik seakan tidak ada ruang aman untuk perempuan,” ujarnya.
Namun, pada kenyataannya profesi ini masih didominasi maskulinitas. Menjadi jurnalis rasanya tidak untuk perempuan. Stigma seperti ini kata Soraya harus dihilangkan.
Ia juga menyoroti belum adanya sistem pengaduan di sebagian besar ruang redaksi.
“Kita perlu mendorong ruang redaksi punya SOP yang melindungi korban dan memberikan sanksi pada pelaku,” tegasnya.
Pendapat Soraya didukung seorang jurnalis senior dari Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) Kalsel sekaligus sebagai narasumber dalam diskusi tersebut.
Menurut reporter CNN ini, menciptakan ruang aman sudah seharusnya dilakukan dan disadari oleh semua pihak.
“Menurut saya ruang aman bukan hanya tugas redaksi atau organisasi media, tapi juga tanggung jawab bersama antar jurnalis,” ucapnya didampingi anggota FJPI Kalsel lainnya Eva, dari media Smart FM.
Pasalnya, sambung Nanik, menjadi perempuan saja sudah sulit, apalagi menjadi jurnalis perempuan.
“Kesadaran ruang aman ini harus terbangun di keseharian kita,” tandasnya.
Dalam acara ini dihadiri beberapa insan pers Kalsel, khususnya Pimpinan Redaksi (Pimpred) Kalimantan Post sendiri Sunarti yang sudah puluhan tahun menjadi jurnalis perempuan di bumi lambung mangkurat. (yon/bay)