Oleh: Harie Insani Putra
—–
Di atas podium, Andin Sofyanoor hampir gagal menahan isak tangis saat menyebut sejumlah nama. Puncak kesedihan itu tatkala Andin menyebut nama ibunya.
Suara Andin sempat tercekat, berhenti beberapa saat ketika menyampaikan kondisi ibunya sedang sakit dan tak bisa hadir. Belakangan, Andin menceritakaan kepada saya tentang suasana hatinya ketika itu. Ternyata, ia terbayang wajah ibunya sedang menahan sakit. Itulah yang membuat ia hampir menangis.
Saya yakin, para hadirin, tamu dan undangan bisa merasakan kesedihan itu melalui suara Andin yang mendadak parau. Mungkin, ada yang turut meneteskan air mata.
Peristiwa haru itu bukan tanpa alasan. Andin sendiri mengakui tak akan mungkin menjadi seperti Andin yang sekarang jika bukan karena sosok ibu, ayah dan juga kakeknya.
Saat Andin masih kecil, ia hidup di lingkungan masyarakat yang tidak mendukung, belum lagi situasi ekonomi keluarga yang terbilang pas-pasan. Tapi, almarhum ayah dan kakeknya tak pernah bosan melecut agar Andin menghindari pengaruh buruk di lingkungan tempat mereka tinggal, dan meminta agar Andin untuk sekolah setinggi-tingginya.
Sepeninggal kakek dan ayahnya, gemblengan dan sentuhan lembut seorang ibu menjadi satu-satunya semangat hidup bagi Andin. Ia berjanji kepada diri sendiri, kepada ibunya, di depan pusara mendiang ayah dan kakeknya akan berjuang sekeras hati untuk bisa meraih pendidikan setinggi langit.
Itulah ekspresi kebahagiaan yang mengalir lewat tetesan air mata setelah para tim penguji menyatakan Andin lulus meraih gelar doktor dengan nilai sangat memuaskan.
Dan, ketika Andin berada di atas podium, semua catatan ini bermula.
————–
SETIAP orang boleh memiliki konsepsi berbeda dalam hal membahagiakan orangtua. Demikian pula Andin, sosok pemuda yang baru saya kenal secara dekat beberapa bulan terakhir ini.
Dalam kesempatan menghadiri Sidang Promosi Doktor Ilmu Hukum di Universitas Padjadjaran (UNPAD), Bandung, saya sempat ngobrol hal-hal yang layak dibanggakan ketika ia berhasil meraih gelar doktornya tersebut.
Mungkin ada yang menganggap betapa bodohnya saya ketika bertanya seperti itu. Bukankah besar atau kecilnya peristiwa hidup seseorang layak untuk dirayakan?
Baiklah, tapi hanya dengan cara itu agar saya bisa menelisik tentang Andin lebih jauh. Lantas, jawaban apa yang saya dapat ketika melempar pertanyaan bodoh semacam itu?
Jikapun kemudian dijawab dengan bodoh, saya anggap itu setimpal. Tapi saya yakin, Andin bukan sosok semacam itu.
Siapapun orang yang pertama kali bertemu dengannya, kemudian ngobrol meski sebentar, pasti akan merasakan kecerdasan yang melekat dalam diri seorang Andin.
Gaya bicaranya santun. Cara berpikirnya sistematis, logis dan terukur. Satu hal lagi yang menyenangkan dari sosok Andin, dia anak muda yang ramah, tidak menggebu-gebu ingin terlihat menonjol untuk menunjukkan potensi kecerdasan yang ada di dalam dirinya.
Barangkali, itu juga yang kemudian menjadi impuls kesuksesan Andin sebagai sosok muda yang melewati hari-harinya sebagai pengusaha sekaligus politikus. Sebuah rasa yang pantas jika saya mengaguminya kemudian.
Betapa tidak, diusia 43 tahun, ia sudah memiliki 7 perusahaan yang bergerak diberbagai bidang level nasional dan internasional.
Di luar itu, secara personal ia juga aktif sebagai konsultan hukum. Seperti yang banyak orang ketahui pula, ia sudah tiga periode dipercaya sebagai anggota DPRD Kabupaten Banjar.
Sebuah pencapaian yang pastinya tidak mudah sekaligus butuh perjuangan dan pengorbanan luar biasa.
Meski demikian, menurut Andin, semua itu bukanlah kesuksesan. Baginya, kesuksesan adalah ketika bisa membahagiakan orangtua. Seperti telah disinggung di atas, orangtua Andin menginginkan agar ia meraih pendidikan setinggi-tingginya.
“Semua saya lakukan demi membahagiakan orangtua,” alasan Andin.
Jawaban itu terkesan sederhana. Memang, semua orangtua pastilah menginginkan anaknya kelak sukses. Lantas, bagaimana Andin selaku anak menyikapi hal tersebut?
Andin berpandangan, jika demikian, maka satu-satunya jalan untuk membahagiakan orangtua adalah dengan mengikuti kemauan orangtua.
“Jika orangtua bisa bahagia karena kita kaya, maka jadilah orang yang kaya. Jika orangtua baru akan bahagia karena kita bisa meraih pendidikan tinggi, maka perjuangkan itu,” jawab Andin.
“Bapak dulu berpesan jika ingin melihat dunia, maka sekolahlah setinggi-tingginya,” kenang Andin dengan mata berkaca-kaca.
“Saya ingin membahagiakan orangtua. Itulah motivasi yang saya genggam sekuat tenaga. Kalaulah kemudian banyak pencapaian di dunia ini yang saya dapatkan, saya yakin itu berkah dari doa orangtua,” ucapnya begitu tulus.
Diakui Andin, melalui pendidikan yang ia peroleh sekarang, banyak hal yang bisa ia mengerti tentang kehidupan ini seperti yang diisyaratkan orangtuanya.
Bukan persoalan mana yang benar atau bagian mana yang salah, lebih dari itu, Andin bisa melihat banyak persoalan dengan lebih bijak dan berhati-hati dalam mengambil keputusan.
Andin juga bisa melihat solusi demi solusi yang bisa dilakukan. Khususnya dalam hal kesejahteraan masyarakat, tata kelola pemerintahan yang baik, dan pengembangan sebuah daerah untuk kepentingan masyarakat luas.
“Jadilah orang yang berilmu pengetahuan. Banyak-banyaklah membaca buku. Dengan ilmu kita bisa melihat dunia dari segala sisi,” pesannya.
Dalam kesempatan itu pula, Andin berpesan agar jangan mengecewakan orangtua. Ia menceritakan meski telah banyak pencapaian yang ia peroleh, Andin masih selalu bersimpuh di kaki ibunya setiap hari.
“Setelah sholat subuh, ulun selalu menemui ibu untuk mencium kakinya, tangan lantas memeluknya. Ulun tak akan berhenti melakukan semua itu sebelum ibu mendoakan saya,” ungkapnya tulus.
Demikianlah kisah tentang Dr. Andin Sofyanoor, SH,MH yang bisa saya catat untuk pembaca koranbanjar.Net. Jika Anda berkenan, silakan share dan bagikan tulisan ini kepada kerabat, saudara dan teman-teman. Terimakasih.