Guna mencegah terjadinya konflik, politisasi SARA, politisasi identitas dan ujaran kebencian menjelang Pilkada serentak 2024, Bawaslu Provinsi Kalimantan Selatan mengumpulkan sebanyak kurang lebih 30 suku serta etnis yang ada di Kalsel.
BANJARMASIN, koranbanjar.net – Sebanyak 30 suku dan etnis ini dikumpulkan di Hotel Aria Barito Banjarmasin, Jumat (27/9/2024)
Anggota Bawaslu Kalsel yakni Koordinator Divisi Pencegahan Bawaslu Kalsel, Parmas, dan Humas Thessa Aji Budiono mengatakan dikumpulkannya 30 lebih suku dan etnis yang ada di Kalsel ini adalah guna menyamakan persepsi atau pemahaman mengenai politisasi SARA, identitas dan ujaran kebencian menjelang Pilkada serentak di Kalsel yang akan dilaksanakan 27 November 2024 mendatang.
Meskipun, sambung Thessa Aji, tingkat masalah politisasi identitas di Kalsel tidak sebesar di daerah lain, namun menurutnya tidak membuat lengah dalam menjaga dan mengawasi Pemilu bersama-sama.
“Tetap kita melakukan pencegahan, bukan hanya pencegahan terhadap terjadinya politik uang, pelanggaran administrasi dan pelanggaran pemilu lainnya. Tetapi juga upaya mencegah politisasi SARA, identitas dan ujaran kebencian kita lakukan,” terang Thessa Aji lewat wawancaranya usai acara.
Apalagi menurutnya kampanye saat ini dilakukan bukan hanya di media terbuka atau publik, tetapi juga bisa dilakukan di media sosial.
“Kita menyadari bahwa pengawasan kampanye di media sosial itu ada ruang-ruang terbatas. Misalkan seperti grup-grup WA,” ujarnya.
Karena, lebih lanjut kata Thessa, bisa saja di grup-grup WA itu ada perbincangan yang menyinggung soal SARA.
“Termasuk isi perbincangan mengenai isu-isu politik. Bisa saja ada ujaran kebencian, hoax atau menghina suku, ras seseorang dengan tujuan untuk menjatuhkan pasangan calon lain,” tuturnya.
Kemudian lebih jauh disampaikan, apabila hal itu terjadi maka dampaknya, kata Thessa Aji, akan memecah belah sesama umat beragama dan bangsa.
Karena, sambung Thessa Aji, perlu disadari di negara Indonesia terdiri dari berbagai suku, ras dan golongan.
“Selain itu juga akan mencederai demokrasi,” sebutnya.
Karena sejatinya, ujar Thessa, kampanye itu adalah adu gagasan, visi dan misi serta program kerja.
Kalau kemudian sentimen kesukuan, agama dan ras itu dikedepankan maka tidak akan melihat lagi visi misi program kerja mana yang bagus.
“Visi misi mana yang sesuai diinginkan pemilih,” ucapnya.
Artinya, hal-hal tersebut menjadi terkesampingkan. Lalu, kata Thessa, akhirnya yang dipilih sensitif-sensitif atau urusan-urusan agama atau ras tertentu.
Untuk itu Bawaslu mengajak kepada seluruh lapisan masyarakat untuk bisa cerdas, bijak dan melek dalam menyorot berbagai informasi diterima, khususnya dalam penyelenggaraan Pilkada serentak 2024 di Kalsel.
“Mari kita sama-sama mencegah politisasi SARA, identitas dan ujaran kebencian terkait suku, agama dan ras tertentu untuk menjatuhkan pasangan calon tertentu,” ajaknya.
Sementara Supriyanto, Kepala Pengawasan dan Humas sebagai pencetus ide kegiatan ini bertutur, pengawasan pemilu bagi konsep budaya pemilu yang harmonis. Nilai-nilai budaya di Indonesia diberikan instrumen positif bagi terwujudnya pemilu damai dan harmonis.
“Sebab Indonesia adalah bangsa majemuk, terdiri dari suku, agama dan ras untuk mencapai stabilitas politik demi tujuan nasional untuk kemajuan dan kesejahteraan masyarakat,” tuturnya.
Hadir dalam acara itu, Kapolda Kalsel, Danrem 101/Antasari, Kabinda Kalsel, Kajati Kalsel, Ketua Ikasba, Ketua FPK, Kepala Sekretariat Bawaslu Kalsel Teuku Dahsya Kusuma Putra dan Anggota Bawaslu Kalsel Koordinator Divisi Penanganan Pelanggaran, Data, dan informasi Muhammad Radini, serta 31 suku di Indonesia yang tinggal dan menetap di Kalsel. (yon/bay)