Aksi damai tersebut pun tak hanya dilakukan di Jakarta semata, beberapa daerah lain yang berada jauh di luar Jakarta juga melakukan hal serupa.
Oleh: Rafii Syihab
——————————-
SEPERTI banyak diberitakan, Selasa (24/9/91) kemarin terjadi sebuah ‘gerakan massal’ melibatkan banyak mahasiswa di beberapa kota di Indonesia. Mereka, para mahasiswa itu, turun ke jalan melaksanakan aksi damai karena sejumlah isu yang dianggap melemahkan hukum di Indonesia seperti RKUHP, UU KPK, RUU ketenagakerjaan, RUU Pertanahan, dan lain sebagainya.
Tercatat dalam kepala saya, para mahasiswa yang melakukan aksi damai berasal dari berbagai daerah dengan kampus yang juga beragam. Seperti; Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Poltekkes, Politeknik STTT, Ikopin, Politeknik TEDC, dan Institut Teknologi Bandung (ITB). Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Telkom University, Polban, Akamigas, STIMLOG, Al-Ghifari dan Universitas Padjadjaran (Unpad), Udayana (Unud), Universitas Warmadewa (Unwar), Universitas Mahasaraswati Denpasar, Universitas Sebelas Maret (UNS), Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), dan banyak kampus lain yang tak mungkin saya sebutkan satu-persatu. Aksi damai tersebut pun tak hanya dilakukan di Jakarta semata, beberapa daerah lain yang berada jauh di luar Jakarta juga melakukan hal serupa.
Di Kalimantan Selatan sendiri, pada hari yang sama, aksi serupa juga dilakukan di halaman Perkantoran Gubernur Kalsel di Banjarbaru. Bermacam kampus, beragam warna almamater, melebur menjadi satu dalam menyuarakan pendapat mereka.
Namun dalam soal tuntutan, mahasiswa Kalsel agaknya paling beda sendiri, sebab mereka menuntut sesuatu yang lebih mendesak bagi daerah ini; Karhutla.
Sebagai penyambung lidah rakyat, penting kiranya mahasiswa untuk menyuarakan isu-isu semacam itu kepada yang berwenang. Mahasiswa tak boleh apatis—beberapa orang meyakini ini—terhadap apa yang terjadi di lingkungan sekitar.
Dan soal tuntutan yang beda itu, seorang kawan mengatakan kepada saya bahwa mahasiswa Kalsel justru mempunyai kepekaan yang luar biasa bagus, sebab mereka menuntut sesuatu yang lebih urgent. Bahwa kabut asap yang sedemikian tebal di Kalsel mau tak mau memang menutup banyak hal di luar sana—dan itu bukan semata soal pandangan saja. Kita, sebagai orang Kalsel, memang harus lebih dulu menuntut pemerintah daerah dalam menangani asap ini—tanpa meremehkan soal-soal RKUHP dan semacamnya yang ngawur-ngidul itu.
Mahasiswa memang menjadi satu kekuatan yang paling menakutkan bagi pemerintah. Soe Hok-gie sendiri, dalam buku Zaman Peralihan, mengatakan bahwa mahasiswa Indonesia mulai ditakuti para penguasa dan dihormati masyarakat sejak tahun 1966, sebab pada saat itu mereka dapat melengserkan tirani kekuasaan Soekarno.
Sebelum itu, dikatakannya lagi, belum pernah mahasiswa Indonesia mempunyai pengaruh politik yang sedemikian besar. Dan begitulah seharusnya, mereka yang dicap sebagai agent of change memang punya keharusan untuk mengingatkan pemerintah—entah dalam perkara RKUHP atau Karhutla, semua sama saja. Dan, dalam demokrasi hal itu sah-sah saja.
Lalu kembali lagi, di Kalsel, dalam perkara Karhutla, seperti yang diteriakkan salah satu demonstran kemarin—saya kutip dari koranbanjar.net. Bagian penting yang perlu diketahui Bapak Gubernur adalah, (Karhutla) di Kalsel itu lebih parah daripada Kalteng.
Ya! Kita darurat asap! Dan itu memang sepantasnya kita permasalahkan. Kita wajib mempertanyakan apakah karhutla memang murni karena alam atau tidak. Apakah ada permainan penguasa dan orang-orang berpengaruh di belakangnya atau tidak.
Mahasiswa sekali lagi sebagai penyambung lidah rakyat perlu bergerak dan peduli terhadap isu-isu semacam ini, jika memang perlu ada gerakan massa seperti demo, itu hal yang wajar. Sebab begitulah cara mahasiswa mengaspirasikan pendapatnya, mereka tak seperti anggota dewan yang dapat mengatur negara dengan duduk rapat di ruangan ber-AC. Mereka harus keluar, berpanas-panasan agar suara dapat didengar.
Dalam demonstrasi yang dihadiri ribuan mahasiswa itu, mereka menyampaikan 8 petisi kepada Gubernur Kalsel Sahbirin Noor. Di antaranya adalah, berkomitmen untuk tidak lagi membuka lahan sawit, serius dalam persoalan menanggulangi karhutla, menyediakan obat dan santunan bagi mereka yang terkena dampak asap, menuntut Presiden Jokowi mencopot jabatan Pangdam, Kapolda dan Danrem jika tidak bisa mengatasi karhutla, dan menuntut Gubernur Kalsel untuk mundur dari jabatan jika dalam jangka dua minggu tidak menindaklanjuti sikap aliansi mahasiswa Kalsel.
Dan, seperti yang dikatakan Soe Hok-gie, besarnya pengaruh politik yang ada di tangan mahasiswa haruslah digunakan secara efektif.
“Kita harus meninggalkan sekolah dan membangun Indonesia, dengan dinamisme dan keberanian yang ada.”
Salam mahasiswa.*