Sedih tentu saja karena puluhan tahun tak bersua, justru mendapatkan kabar duka. Terima kasih Pak, pernah menjadi bagian dari perjalanan hidup saya.
JAKARTA, koranbanjar.net – Kala itu 2000-2001. Baru setahun saya menjadi reporter di Metro Banjar (Banjarmasin Post Group).
Salah satu pos yang saya pantau adalah DPRD Kabupaten Banjar. Saya suka meliput dari desa ke desa, kelurahan ke kelurahan, kecamatan ke kecamatan.
Selain ingin mengenal daerah-daerah yang belum pernah saya sambangi, saya optimistis dengan cara kerja langsung di lapangan, akan menemui banyak hal yang bisa dikomunikasikan ke publik serta dikonfirmasikan kepada pihak-pihak terkait. Termasuk kepada para wakil rakyat di DPRD Kabupaten Banjar.
Salah seorang politikus yang sangat sering saya mintai konfirmasi kala menemukan problem di akar rumput adalah Mawardi Abbas. Dia dari Fraksi PPP.
Bukan sekadar konfirmasi berita. Berdiskusi dan sharing pengalaman sering kami lakukan. Sekali dua, berdebat. Apalagi kalau sudah menyinggung kebengalan sejumlah anggota wakil rakyat.
Tak terhitung pula, Mawardi Abbas melindungi saya ketika berita yang saya buat begitu keras hingga sejumlah orang mengintimidasi ke kantor. Cara bijak dia menyelesaikan permasalahan begitu membekas di hati saya. Bukan menyerah, tetapi cerdik dan penuh perhitungan, sehingga semua tidak merasa kalah.
Saya biasa menggunakan bahasa Jawa halus kala berbincang dengan Mawardi Abbas. Itu terjadi setelah Mawardi Abbas mengisahkan pernah studi di Universitas Islam Indonesia (UII) di Yogyakarta. Komunikasi kian intens karena dari Mawardi Abbas, saya juga mengenal bahasa Banjar lebih baik, meski dalam pengucapan, saya tetap kental dengan bahasa Jawa.
“Ilat Jawane ora ilang-ilang. (Lidah Jawanya tidak hilang-hilang),” begitu salah satu komentar Mawardi Abbas setiap kali kami berbincang.
Ketika Mawardi Abbas menjadi Wakil Bupati Banjar (periode 2000-2005), awalnya saya enggan untuk mendekat meski sekadar konfirmasi berita. Berjarak dengan narasumber dari kalangan eksekutif bagi saya, perlu dilakukan agar tidak terjadi konflik kepentingan (dalam perkara peliputan).
Rupanya, prasangka saya salah. Mawardi Abbas tak berubah. Tetap sederhana. Tak neko-neko. Berempati ke akar rumput. Punya sikap toleransi yang begitu tinggi. Mau mendengarkan. Mau berbagi. Tak buru-buru bereaksi kala dikritik. Berpandangan luas. Dan masih banyak hal yang tak mudah diungkapkan. Yang pasti, necis dalam berbusana dan menyisir rambut. Keren.
Tak terhitung, saya mampir ke ruang kerjanya di lantai dua Pemkab Banjar tak jauh dari tangga itu. Biasanya, saya mengetuk pintu pada jam-jam setelah makan siang. Begitu sudah masuk, bisa dua hingga tiga jam di dalam ruangannya.
Berdiskusi banyak hal. Berbagi informasi banyak hal. Termasuk ngrasani sejumlah pejabat atau pegawai Pemkab Banjar yang perlu dijewer karena kinerjanya jauh dari melayani publik.
Hingga jelang jam kantor usai, baru saya minta izin keluar dari ruangan yang tidak begitu luas itu dengan interior yang jauh dari kata mewah. Terkesan justru seadanya.
Bukan hanya di kantor, saya tak jarang memberanikan diri berkunjung ke rumah pribadinya. Lebih banyak berbincang di luar pekerjaan, tetapi saya lebih banyak menimba nasihat darinya.
Sebagai perantauan, saya menganggapnya sebagai ayah kedua. Kebijaksanaan dan kelembutannya sangat luar biasa. Bukan berarti, dalam perkara berita saya enggan mengkritik ya. Tetap saja, kami berada di posisi masing-masing.
Pada 2001 ketika hendak meninggalkan Banjarbaru menuju Bandung, Jawa Barat, saya sempat menyambangi rumahnya untuk berpamitan. Sayang sekali, saya tidak berhasil menemui, karena Mawardi Abbas sedang ada acara di luar. Hanya bisa menitip salam hormat, terima kasih, dan doa terbaik buat beliau.
Sore ini, Selasa (17/5/2022) sekitar pukul 15.45 WITA kabar duka itu datang. H Mawardi Abbas berpulang ke Rahmatullah di RSUD Ratu Zalecha Martapura.
Sedih tentu saja karena puluhan tahun tak bersua, justru mendapatkan kabar duka. Terima kasih Pak, pernah menjadi bagian dari perjalanan hidup saya. Beristirahatlah dalam damai. (dba)