Oleh
Dewan Redaksi, Denny Setiawan
Hari ini saya bertemu dengan seorang anggota DPRD. Dulu, dia merupakan seorang pejabat eksekutif di salah satu pemerintah daerah di Kalimantan Selatan.
Tadinya, saya ingin menyebutkan identitasnya dalam tulisan ini, tapi…setelah saya pikir-pikir, ah…rasanya kurang etis. Bukan kurang etis untuk yang bersangkutan, tetapi kurang etis buat pejabat legislatif lainnya.
Karena dari obrolan ringan ini, banyak hal yang dikemukakan wakil rakyat ini. Baik mengenai fungsi wakil rakyat, tanggung jawab terhadap rakyat, serta hal-hal yang diabaikan wakil rakyat.
Kalau saya sebutkan identitasnya, tentu banyak wakil rakyat yang (mungkin) tersungging…eh maaf, tersinggung maksudnya. Walaupun sesungguhnya, apa yang disampaikan anggota DPRD ini 100 persen benar. Tetapi, tidak semua kebenaran itu kan bisa diterima orang? Sebaliknya, justru bisa diterjemahkan multitafsir, bisa disebut ‘sok bersih’, ‘sok suci’ atau apalah. Yah, sebaiknya nggak usah saya sebutkan identitasnya.
Wakil Rakyat dalam bahasa keren disebut anggota DPRD/DPR yang terhormat. Bisa pula disebut anggota legislatif, kalau di tingkat pusat keren lagi tuh, disebut anggota parlemen. Namun, tahukah mereka, sadarkah mereka, makna Wakil Rakyat adalah pelayan rakyat, perwakilan rakyat. Bukan mewakili rakyat untuk menjadi pejabat yang mengutamakan kehormatan, pejabat bak selebiritis, pejabat yang petantang-petenteng mengumbar aura kehormatan, mengabaikan wajah-wajah rakyat yang sedih dan lusuh.
Fakta yang terjadi sekarang, banyak oknum wakil rakyat bukan melayani rakyat, tetapi lebih banyak minta dilayani rakyat. Sudah menjadi rahasia umum, menjelang pemilihan legislatif, para calon anggota DPRD/DPR bak pejabat yang merakyat, blusukan, memperhatikan kesulitan rakyat bla…bla…bla…
Ngga usah lama, satu tahun setelah terpilih, duduk sebagai anggota DPRD/DPR, boro-boro mengunjungi rakyat yang memilih mereka, bahkan nomor telepon masyarakat yang selama itu membantu mereka, jangan-jangan sudah dihapus. Alasannya, “ah….nanti minta bantuan mulu,” katanya. Nggak sadar tuh, saat pemilihan sedikit-sedikit minta bantuan ke rakyat untuk dipilih?
Oh ya, kembali pada obrolan ringan saya dengan anggota DPRD tadi, dia menyebutkan, belum lama tadi sering melakukan reses ke daerah pemilihan. Banyak sekali aspirasi yang muncul dari kunjungan reses itu, baik soal air bersih, jalan rusak hingga kebutuhan fasilitas tempat ibadah.
“Saya tanya kepada masyarakat, bapak…ibu…, pernah nggak anggota DPRD yang ibu dan bapak pilih datang ke sini? Jawabannya, nggak ada pak? Mendengar kalimat itu, saya sempat terpikir, lalu pekerjaan anggota dewan yang mereka pilih itu apa saja? Sampai-sampai saya katakan, bapak…ibu…, saya datang ke sini tidak peduli ibu atau bapak akan memilih atau tidak memilih saya nanti. Niat saya hanya satu, saya berusaha semampu saya untuk membantu kesulitan yang ibu dan bapak hadapi,” ceteluk anggota DPRD ini.
Dia melanjutkan dialognya dengan masyarakat. “Nah, nanti bapak dan ibu bisa lihat sendiri, kalau sudah menjelang pemilihan anggota dewan, akan banyak yang datang, ya seperti itulah. Silakan bapak dan ibu nilai sendiri,” imbuhnya.
Dialog anggota DPRD dengan masyarakat ini hanya satu dari sekian banyak masalah yang datang dari masyarakat.
Coba hitung, berapa kali anggota DPRD/DPR datang langsung bertemu muka dengan masyarakat dalam 1 tahun? Dan berapa kali anggota DPRD/DPR yang melakukan studi banding ke berbagai daerah di Indonesia maupun luar negeri? Saya pastikan, banyak oknum wakil rakyat itu lebih banyak melakukan studi banding ketimbang menjumpai masyarakat. Jadi kalau saya mengistilahkan, anggota dewan yang terhormat tidak usah lagi disebut wakil rakyat, tetapi saya usulkan menjadi anggota DPUR/DPURD (Dewan Pemakan Uang Rakyat/Daerah). Sepertinya itu lebih tepat?
Saya akan ajak berfikir secara logika, coba perhatikan fungsi anggota DPRD/DPR yang masih menjabat sekarang ini. Setiap lembaga DPRD/DPR, memiliki anggota yang tidak sedikit. Kemudian, dari sekian banyak itu, berapa orang yang sering koar-koar di media menyampaikan aspirasi rakyat, berapa orang yang rajin turun mengikuti jadwal agenda dewan, dan berapa orang yang dapat disebut kritis hingga meluangkan waktu turun ke pelosok-pelosok? Berapa persen?
Sebagian besar mereka lebih aktif mengikuti kunjungan kerja, mendapatkan uang SPj, kongkow-kongkow dengan mereka yang disebut relasi. Kemudian, berapa banyak yang nongkrong di warung kaki lima, berapa banyak yang datang ke masyarakat tani, berapa banyak yang datang menjenguk keluarga miskin? Bukankah itu menyedihkan?
Sekali lagi, anggota DPRD/DPR itu adalah wakil rakyat, pelayan rakyat, orang-orang yang mestinya rela mengorbankan kepentingan pribadi untuk rakyat. Bukan, minta dilayani rakyat dan bukan hanya menjadi bagian yang turut menghabiskan uang rakyat. (*)