Scroll ke bawah untuk melanjutkan
Koran Banjar

Malam Selikur Kini, Jarang Terlihat Lampu Hias Tradisional

Avatar
695
×

Malam Selikur Kini, Jarang Terlihat Lampu Hias Tradisional

Sebarkan artikel ini

Malam Selikur, selain kebiasaan mulai meningkatkan ibadah, ada tradisi menyalakan lampu hias di halaman rumah masing-masing.
Saya mencoba berkeliling, melihat tradisi itu, di malam 21 Ramadan 1441 Hijriah ini.

MUHAMMAD HIDAYAT, Kandangan

Advertisement
Koran Banjar
Scroll ke bawah untuk melanjutkan

MALAM selikur, kata awalnya dalam bahasa Jawa, identik untuk menyebutkan malam ke-21 Ramadan.

Malam itu, biasanya masyarakat menyalakan lampu tradisional, di halaman rumah masing-masing.

Biasanya lagi, lampu berbahan bakar minyak tanah itu, disusun horisontal pada ruas bambu.

Konon tradisi malam khusus ini, dimaknai untuk menerangi malam sepertiga terakhir Ramadan, yang penuh berkah.

Akan tetapi, tiap tahun tradisi tadi makin redup. Ramadan tahun ini, di tengah wabah Covid-19 saya mencoba melihat tradisi itu, dengan berkeliling.

Sepanjang perjalanan, dapat dihitung dengan jari, masyarakat yang masih menyalakan lampu hias tradisional, di depan rumah.

Saya menyebutkan mulai dari wilayah Kecamatan Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS). Berbagai sudut desa, hampir tak ada ditemui yang masih melakukan tradisi malam selikur.

Rute perjalananpun, saya ubah menuju pegunungan.

Di Desa Mawangi, Kecamatan Padang Batung, juga tak ada lampu minyak tradisional yang dinyalakan. Akan tetapi digantikan dengan lampu hias tenaga listrik kerlap-kerlip.

Hal itu masih bisa saya anggap memaknai malam selikur, daripada tak ada sama sekali.

Lalu, sepanjang Jalan Raya Loksado hingga Desa Lumpangi, Kecamatan Loksado, juga hanya lampu penerangan jalan umum (PJU) yang sebagian menyala.

Paragraf di atas, boleh digarisbawahi atau dicetak tebal, agar semua membaca dengan jelas.

Berbeda sekali dengan masa 1 hingga 2 dekade lalu.

“Di Kampung saya juga tak ada sama sekali, padahal tahun lalu ada saja. Entah karena Covid-19 ini, juga tidak tahu kenapa,” ucap Adul, seorang pemuda Desa Hamak Timur, Kecamatan Telaga Langsat.

Saya menelusuri hingga menyeberang batas daerah, melalui pegunungan.

Di Desa Kindingan, Kecamatan Hantakan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), terlihat masyarakat memeriahkan malam 21 Ramadan, dengan menyalakan lilin di teras rumah masing-masing.

Ada yang menyalakan lebih dari satu batang lilin, tampak terang benderang.

Berdekatan wilayah tersebut, meski saya tak melihat langsung, kabarnya sedikit ada kemeriahan menyambut malam 21 Ramadan.

Kelompok pemuda di Dusun Tanuhi, Desa Hulu Banyu, Kecamatan Loksado, Kabupaten HSS menggelar arak-arakan sederhana dengan mobil pikap bak terbuka.

“Ada tadi kabarnya, kelompok pemuda di desa kami mengadakan sesuatu, tapi kegiatan biasa saja mereka,” ucap Sekretaris Desa Hulu Banyu, membenarkan.

Saat tidak ada wabah Covid-19, biasanya di kota-kota juga sering diadakan acara arak-arakan, di antara malam sepertiga terakhir Ramadan.

Bukan dari sisi ibadah, melainkan dari sisi tradisi, menurut saya tahun ini, sungguh malam selikur jauh berbeda. (dya)

Protes RUU Anggota Parlemen Menari Perang Prabowo Ajak Puasa 5 Tahun KPK Lelang Barang Koruptor Gus Miftah Meminta Maaf Gus Miftah Ejek Penjual Es Teh