Dilema para penjual kembang saat wabah corona (Covid-19) merebak. Harga kembang turun drastis, bahkan sering tidak laku. Bila kembang sudah dipanen dan tidak laku terjual, maka akan busuk. Sebaliknya, apabila kembang tidak dipetik atau dibiarkan, maka berpotensi dimakan ulat.
DENNY SETIAWAN, Karang Intan
Belakangan ini, terutama di sekitar lokasi-lokasi pemakaman penjual kembang tidak seramai biasanya. Terlebih di makam-makam tertentu yang biasanya dipadati kerumunan penziarah. Penutupan tempat-tempat makam ulama besar juga berdampak terhadap penjual kembang.
Dampak wabah virus corona tak hanya dialami penjual kembang. Akan tetapi turut dirasakan mulai pekebun kembang (bunga) seperti melati, pekerja merangkai bunga hingga penjualnya.
Salah satunya dirasakan keluarga Abdul Hamid, warga Desa Sungai Arfat, Kecamatan Karang Intan, Kabupaten Banjar.
Tadinya, sebelum musim corona, keluarganya mampu menjual kembang melati dengan harga Rp3.000 hingga Rp5.000 per cangkir. Nah sekarang, kembang melati hanya mampu terjual antara harga Rp500 sampai dengan Rp1.000 per cangkir. Itu pun kadang-kadang pembeli ngutang dulu.
Semula Pendapatan Rp500.000 per Hari
“Kalau kemarin-kemarin (sebelum wabah virus corona), keluarga saya bisa menjual 100 cangkir perhari dengan harga Rp5.000. Itu artinya, pendapatan mencapai Rp500.000 per hari. Kalau sekarang, boro-boro mendapat Rp500.000, 10 cangkir saja belum tentu laku, itu pun harganya Cuma antara Rp500 sampai Rp1.000 per cangkir,” bebernya.
Ironisnya, kondisi dilematis juga sering dihadapi para pekebun kembang melati. Jika kembang melati dipetik, harga sangat murah, bahkan terkadang tidak laku dijual dan busuk. Sebaliknya, bila kembang melati tidak dipetik, maka akan dimakan ulat.
“Sebelumnya, banyak yang mendapatkan manfaat dari penjual kembang ini. Satu penjual kembang bisa mempekerjakan 10 orang perangkai kembang. Upahnya, satu kulipak (lembaran kulit pisang, red) yang dirangkai dalam satu buah kembang seribu rupiah. Kalau pekerja bisa merangkai 10 sampai 15 kulipak, maka mendapatkan upah sepuluh ribu sampai lima belas ribu. Kalau dijumlah sebulan, kan bisa membayar listrik. Sekarang sudah tidak ada lagi, soalnya kembang yang dijual aja sering tidak laku. Bagaimana mempekerjakan yang lain,” kisahnya.
Oleh sebab itu, sambungnya, jika virus corona ini terus melanda hingga satu bulan ke depan, maka ekonomi masyarakat, terutama para pengasil kembang akan semakin terpuruk. Karena biasanya, 5 hari menjelang bulan Ramadan, batang tanaman melati akan dipangkas. Supaya menjelang lebaran, berbunga lagi dan dipetik untuk dipasarkan.
“Kalau lebaran kan banyak yang beli kembang. Tapi kalau kondisinya seperti ini, seumpama toh kembang banyak dipanen, namun sulit dijual, kan sia-sia juga. Kami hanya berharap mudah-mudahan corona ini cepat berakhir, kemudian tempat-tempat pemakaman, khususnya makam-makam ulama dibuka lagi. Dan penjualan kembang ramai lagi,” tutup Hamid.(*)