Menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci Makkah di zaman dahulu tidaklah semudah sekarang. Mereka yang berasal dari Indonesia, melaksanakan rukun Islam kelima tersebut harus berbulan-bulan menempuh perjalanan mengarungi laut. Hal demikian juga dialami Datu Surya Sakti Mangku Alam ketika menimba ilmu ke Makkah. Selesai berhaji dan kembali ke kampung halaman, Datu Surya Sakti Mangku Alam berkata, “aku menghangkum (mengandang; bahasa banjar) anak cucuku tujuh turunan untuk hajinya, maka mereka tidak akan naik haji kecuali perjalanan mudah”. Nah, sejak itulah Datu Surya Sakti Mangku Alam bergelar Datu Kandang Haji.
BALANGAN, koranbanjar.net – Di daerah dataran tinggi Balangan, terdapat satu desa bernama Baluning, sekarang menjadi desa di Kecamatan Juai dengan nama Mungkur Uyam.
Dikutip dari julakbungsu.blogspot.com, dahulu para penduduk setempat menganut agama Hindu. Desa Baluning dibangun dua bersaudara dan delapan saudara sepupu. Mereka masing masing mempunyai kelebihan atau keistimewaan.
Desa Baluning dibangun dan dibina para datu yang bijak, paling terkenal antara lain, Datu Surya Sakti Mangku Alam atau Patih Bantar Alam (Datu Kandang Haji). Ia memiliki saudara kandung 1 orang yaitu, Datu Intil.
Mereka berdua dibantu saudara sepupu yang juga para bijak, antara lain, Datu Limpai Susus, Ayamah, Gragampa Alam, Surya Tadung Wani, Satia Karsa, Palumbaran, Tamiyang dan Dayang Marak.
Kehidupan mereka penuh dengan kerukunan dan keharmonisan dalam hidup bermasyarakat, Mereka saling tolong menolong antara satu dengan yang lainnya. Hingga pada suatu masa terjadi perselisihan di antara para datu itu, Datu Surya Sakti Mangku Alam (Datu Kandang Haji) dikucilkan dari pergaulan masyarakat dan para datu lainnya.
Masuk Agama Islam dan Menuntut Ilmu ke Makkah
Kemudian, Datu Surya Sakti Mangku Alam mendapat hidayah dari Allah SWT untuk memeluk agama Islam yang di masa itu masih sedikit pemeluknya di daerah pedalaman Banjar (Kalsel) bagian Utara.
Datu Surya Sakti Mangku Alam mempelajari dan memperdalami agama Islam kepada para ulama atau wali-wali yang hidup di zaman itu, kemudian menuntut ilmu ke Makkah Al-Mukarramah dalam waktu yang lama.
Diriwayatkan, Datu Kandang Haji menuntut Ilmu di Makkah selama kurang lebih 50 tahun, karena pada masa itu untuk menempuh perjalanan menuju Makkah cukup sulit dan memakan waktu yang sangat lama.
Nah, setelah selesai berhaji dan menuntut ilmu di Makkah, Datu Surya Sakti Mangku Alam berkata “ Aku menghangkum (membatasi/mengandang; bahasa banjar) anak cucuku tujuh turunan untuk hajinya, maka mereka tidak akan naik haji kecuali perjalanan Mudah”. Sejak itulah, Datu Surya Sakti Mangku Alam terkenal dengan sebutan Datu Kandang Haji.
Datu Kandang Haki kembali ke tanah air untuk menyebarkan agama Islam, khususnya di daerah pedalaman banjar (Kal-sel) bagian Utara, khususnya di dataran tinggi Balangan.
Kembali ke Tanah Air dan Berdakwah
Sepulang dari Makkah, Datu Kandang Haji membawa benda-benda di antaranya, Alqur’an yang ditulis dengan tangan, tanah, cukmar/senjata, petaka, jubah, surban, kupiah palung, piring malawen, tombak dan terompah.
Datu Kandang Haji tiba di Kalimantan, kemudian ke Balangan. Setelah itu meneruskan ke desa Paran, selanjutnya menuju desa Buntu Karau hingga desa Desa Juai dan desa Bangkal. Sekian lama berdakwah. Datu Kandang Haji mencari tanah persamaan tanah yang dibawa dari Makkah. Lalu ditemukanlah tanah itu di Mungkur Batu yang sama warna dan baunya.
Setelah Datu kandang Haji menemukan tanah yang sama, Datu Kandang Haji berkata kepada anak cucunya di Bangkal, “Apabila ajalku telah tiba (wafat), tolong kuburkan (makamkan) aku di tanah Mungkur Batu.”
Selanjutnya Datu merajah atau mewafak tanah di Mungkur Batu itu, setelah selesai mewafak atau merajah, dia juga menitip pesan kepada keturunannya serta orang-orang yang ingin mencari azimat, wafak atau rajah apa saja cukup meminta batu atau apa saja yang ada di Mungkur Batu.
Karena Mungkur baru tersebut sudah diberi rajah oleh Datu Kandang Haji, sekaligus Mungkur diberi nama Mungkur Batu Wafak. Di sekitar Mungkur Batu konon terdapat pohon kayu penawar seribu yang akar dan kayunya digunakan untuk pengobatan berbagai jenis penyakit.
Semasa hidup Datu Kandang Haji telah membangun 3 masjid yakni, Masjid Al Mukarramah di Desa Bangkal, Masjid Jannatul Ma’wa di Desa Buntu Karau dan Masjid Siraajul Huda di Desa Paran. Konon masjid – masjid yang dibangun itu memiliki keistimewaan masing-masing.(koranbanjar.net)