Religi  

Tragis, Habiskan Rokok 10 Bungkus Dalam 24 Jam, Hakim Kehilangan Suara

Kisah tragis dialami Lukmanul Hakim (46), warga Komplek Mahkota Redila 10, Blok 4, RT 04 No 46B, Desa Indrasari, Kecamatan Martapura, Kabupaten Banjar, Kalsel. Tahun 2015 dia mengalami persoalan yang rumit dan depresi, hingga merokok tak mengenal jumlah, dalam waktu 24 jam dia telah menghisap rokok sebanyak 10 bungkus. Tak lama kemudian, dia kehilangan suara dan tenggorokannya harus dilubangi agar bisa tetap bersuara dengan menggunakan sebuah alat.

“Allah telah memperingatkan saya.” Itulah kalimat pertama yang keluar dari mulut lelaki kelahiran 11 Februari 1975 ini, ketika ditanya wartawan koranbanjar.net, saat menggunakan sebuah alat untuk berbicara, di sebuah tempat di Kota Martapura.

Lantas Hakim –demikian dia disapa, Red- mulai menceritakan keadaan yang dialaminya selama ini. Sekitar tahun 2015 silam, dia menghadapi problema yang sangat pelik. Kehidupan yang pas-pasan membuatnya harus bekerja keras menghidupi keluarga. Profesi sebagai honorer di sebuah instansi di lingkungan Pemerintah Kabupaten Banjar, tidak mampu menutupi semua kebutuhan hidup keluarganya, sehingga di paruh waktu dia harus bekerja serabutan.

“Waktu itu, gaji honor hanya Rp350.000 per bulan, jumlah itu tidaklah cukup untuk kebutuhan sebulan. Saya pun bekerja serabutan menambah penghasilan untuk membiaya keluarga,” ungkapnya.

Meski dengan susah payah, Hakim dapat membiayai kebutuhan keluarga, namun dia mengalami persoalan lain yang rumit pada keluarga. Peristiwa itulah yang membuat dirinya menjadi depresi. Semua menjadi tidak keru-keruan, makan susah, tidur pun sulit. “Saya cuma bisa tidur hanya satu jam dalam semalam,” kenangnya.

TENGGOROKAN – Kondisi tenggorokan yang dialami Lukmanul Hakim. (foto:koranbanjar.net)

Nah sejak saat itu, untuk menghalau persoalan dalam pikiran, dia merokok dan mengkonsumsi minuman keras tak henti. “Pokoknya, dalam satu hari-satu malam (24 jam), saya menghabiskan rokok satu slob (10 bungkus), ditambah minuman keras,” ungkapnya.

Keadaan itu berlangsung setiap malam, sampai pada akhirnya, bila berbicara suaranya terdengar serak. Selanjutnya, serak semakin parah hingga suaranya tak terdengar lagi. Rupanya kerak rokok tak hanya membuat dirinya tak bisa bersuara, tetapi membuat tenggorokan terasa sakit, bahkan menyebabkan dirinya tak bisa bernafas. Satu ketika keadaan itu memuncak, dia terpaksa dilarikan ke rumah sakit. Dalam perjalanan dari rumah menuju rumah sakit, Hakim sekarat, atap mobil ambulan digedor-gedor, karena dia tidak bisa bernafas.

Tiba di rumah sakit, Hakim menjalani penanganan serius dari tenaga medis, kemudian dia dirujuk ke sebuah rumah sakit terkemuka di Surabaya, Jawa Timut. Di rumah sakit itu keputusan operasi tenggorokan harus dilakukan. Operasi berjalan, tenggorokannya pun harus dilubangi. “Rupanya kerak bekas rokok yang membuat saya tidak bisa bernafas, makanya sekarang saya tidak bernafas dari lubang hidung lagi, tetapi lewat lubang ini,” ucapnya menunjukkan lubang di tenggorkan.

Dia menyebutkan, keadaan yang dialami berbeda dengan orang yang mengalami cacat bawaan seperti bisu.”Kalau bisu tidak memiliki pita suara sama sekali. Kalau saya ini masih memiliki pita suara sekitar 30 persen, makanya masih bisa bersuara dengan menggunalan alat bantu,” paparnya.

Sejak saat itulah, Hakim menjalani rangkaian perawatan yang intensif. Berbagai tawaran datang dari pihak rumah sakit di Surabaya untuk mengatasi agar tetap bisa bersuara. Dia dianjurkan menjalani operasi tenggorokan lagi di sebuah rumah sakit di Singapura, untuk memperbaiki tenggorokannya yang rusak dengan biaya Rp12 miliar. Pilihan kedua, dia dianjurkan pula untuk membeli sebuah alat yang bisa ditempelkan pada tubuh senilai Rp800 juta.

“Seandainya Rp800 ribu masih bisa saya mikirkan, lha ini Rp800 juta kemana mencari uangnya, apalagi Rp12 miliar,” kenangnya.

Pilihan ketiga, lanjut Hakim, dia dianjurkan membeli sebuah alat bantu untuk menimbulkan suara yang dipesan produk Amerika Serikat seharga Rp31 juta. Alat itu ditempelkan pada bagian leher, berikutnya dia bisa berbicara, hanya saja suara yang keluar tidak sejernih suara asli.

“Untuk bisa mendapatkan uang Rp31 juta itu pun saya kesana-kemari memohon bantuan, namun tidak menghasilkan. Akhirnya, saya jual rumah satu-satunya untuk membeli alat ini,” kata dia menujukkan.

Sampai sekarang, Lukmanul Hakim sudah menggunakan alat bantu tersebut selama 6 tahun, karena kalau tidak menggunakan alat bantu itu dia sangat kesulitan berkomunikasi, apalagi untuk kerja.

“Allah mengingatkan saya, karena sebelumnya saya lupa segala-galanya, tidak pernah sholat, tidak pernah mendengar pengajian, seakan buta mata dan tuli. Sekarang, alhamdulillah masih diberi kesempatan untuk memperbaiki diri. Mudah-mudahan kisah saya ini menjadi pelajaran dan pengalaman yang baik untuk orang lain,” tutupnya.(sir)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *