Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan sengketa hasil Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Paska Pemungutan Suara Ulang (PSU) yang diajukan Paslon nomor urut 2, Denny Indrayana – Difriadi Drajat ( H2D), Rabu (21/7/2021).
JAKARTA, koranbanjar.net – Sidang perkara nomor 24/PHP.GUB-XIX/2021 ini, Tim Hukum H2D, Dr. Bambang Widjojanto (BW) mengawali permohonannya dengan menekankan, wewenang MK mengesampingkan syarat ambang batas permohonan sengketa hasil pemilihan sebagaimana diatur Pasal 158 UU Pilkada.
Demikian disampaikan melalu pers release yang diterima koranbanjar.net, Rabu, (21/07/2021).
Dijelaskan pula, BW yang didampingi Heru Widodo, serta kuasa hukum lainnya secara online mengungkapkan, ada 7 dalil permohonan disertai 610 alat bukti, yang menjadi dasar mengapa MK perlu mengesampingkan ambang batas dan memeriksa pokok permohonan sebagaimana 16 sengketa Pilkada lainnya.
BW membeberkan, 7 dalil dugaan pelanggaran dan kecurangan PSU tersebut meliputi, 1. Politik Uang TSM Paslon 1 di seluruh kecamatan PSU. 2. Cagub Sahbirin Noor secara langsung melakukan dugaan politik uang. 3. Paslon 1 diduga menggunakan birokrasi dan aparat desa sebagai tim sukses (timses). 4. Diduga menggunakan cara intimidasi dan premanisme guna memenangkan Petahana.
Lanjutnya, 5. Penegakan hukum Bawaslu tidak berjalan. 6. KPU Kalsel diduga berpihak kepada Petahana dan 7. KPU Kalsel diduga mengacaukan DPT.
“Misalnya dengan kehadiran pemilih yang berbeda antara absen dan C hasil, serta NIK pemilih yang sengaja berbeda antara undangan dan KTP, bebernya.
Kemudian 610 bukti itu meliputi di antaranya, kesaksian, termasuk dari tim Paslon 1, handphone, video, rekaman suara, serta dokumen yang menggambarkan peristiwa pelanggaran dan kecurangan selama PSU Pilgub Kalsel.
“7 dalil pelanggaran dan kecurangan PSU yang kami hadirkan kepada majelis hakim konstitusi ini bukanlah by accident, tetapi by design,” klaimnya.
Penyebabnya sambung BW, peristiwa dugaan kecurangan tidak hanya berulang sejak pemilihan 9 Desember 2020, tetapi sebarannya juga merata di seluruh wilayah PSU,.
Mantan Wakil Ketua KPK Periode 2011-2015 ini menyebut anehnya, Bawaslu mengatakan tidak ada kecurangan, tidak ada politik uang.
Lebih aneh lagi, sebut BW, Bawaslu menyatakan untuk memenuhi syarat masif, pelanggaran politik uang harus terjadi di minimal 50% dari total 13 Kabupaten/Kota di Kalsel.
“Padahal wilayah PSU hanya terjadi di 3 kabupaten/kota. Syarat Bawaslu itu tentu saja tidak logis dan tidak rasional,” cetusnya.
“Di Martapura, bayangkan sebanyak 26 dari 26 desa/kelurahan terpapar politik uang Paslon 1, dengan melibatkan oknum RT, aparat desa, yang digaji Rp2,5 hingga Rp5 juta pet bulan,” katanya.
Menurutnya, modus kecurangan dan pelanggaran ini dilakukan begitu rapi di seluruh kecamatan PSU. “Mereka bahkan terlibat dari mulai tahap perencanaan hingga eksekusi,” ungkap mantan Ketua YLBHI ini.
BW menambahkan, para oknum RT/koordinator RT ini juga menandatangani fakta integritas layaknya sebuah sumpah atau bai’at berisi jaminan data pemilih yang akan memberikan suara kepada Paslon 1 dengan dugaan iming-iming uang.
Lebih dahsyat lagi, imbuh dia, nama-nama oknum RT yang menjadi tim sukses Paslon 1 tersebut adalah KPPS yang bertugas sebagai penyelenggara pemilihan baik pada pemilihan 9 Desember 2020 ataupun PSU 9 Juni 2021.
“Itu artinya, terjadi kecurangan dan pelanggaran yang sangat serius, karena KPPS yang merupakan kepanjangan tangan KPU, justru berkhianat dengan menjadi bagian dari pelaku kejahatan pemilu,” tandasnya
Maka, kata BW, dalam petitum permohonan pihaknya tidak meminta putusan PSU, tetapi meminta kepada MK agar menjatuhkan putusan pembatalan sebagai Paslon 1 atau penihilan suara Paslon 1
“PSU jilid dua hanya akan mengulang kecurangan-kecurangan,” tutup mantan Pimpinan KPK yang juga pendiri Indonesia Corruption Watch dan Kontras ini. (yon/sir)