Setelah PKB, Sekarang PAN Akhir Sebuah Era

Oleh Honing Sanny

Kongres PAN di Kendari beberapa hari yang lalu berakhir dengan kembali terpilihnya Zulkifli Hasan sebagai ketua umum partai berlambang matahari ini untuk periode ke-2 tahun 2020-2025.

Meskipun diwarnai aksi lempar kursi namun proses demokrasi formal berjalan sesuai rencana. Bahkan semua punggawa sekaligus mantan ketua umum partai turun gunung. Mulai dari Amies Rais, Soetrisno Bahir, Hatta Rajasa. Bahkan para calon ketua umum pun hadir dalam arena kongres dengan suasana yang akrab. Kenyataan ini tentu saja baik untuk investasi politik jangka panjang. Bukan saja buat PAN namun juga menjadi pelajaran bagi partai-partai politik lainnya terkait bagaimana membangun demokratisasi partai.

Terlepas dari semua proses di atas, selain ucapan selamat kepada Saudara Zulkifli Hasan yang menerobos tabu di tubuh PAN bahwa selama ini ketua umum PAN hanya boleh satu periode, juga kepada organisasi PAN atas kesungguhan semua faksi yang bersaing menerima untuk hasil pemilihan. Juga termasuk persetujuan untuk menerima usulan ketua umum terpilih mengangkat Hatta Rajasa yang notabene lawan politik lima tahun lalu untuk menjadi ketua Majelis Pertimbangan Partai (MPP).

Belajar dari PAN dan PKB

Hasil kongres PAN juga menjadi tonggak baru dalam tubuh partai di mana dominasi Amien Rais pendiri dan tokoh sentral yang selama ini dominan dan menjadi rujukan partai dikalahkan barisan Zulkifli Hasan. Jauh sebelum kongres Amien Rais secara terbuka menolak keinginan untuk kembali memilih Zulkifli Hasan.

Alasannya pun sederhana bahwa partai perlu regenerasi seperti yang sudah ditunjukan utk tidak menjabat Ketua Umum PAN setelah satu periode memimpin.

Bila selama ini imbaun dan operasi politik selalu memenangkan Amien Rais namun tidak untuk kongres Kendari. Meskipun didukung Amien Rais, Mulfachri Harahap yang juga menggandeng Hanafi Rais (putra Amien Rais) justru tidak mampu menyaingi petahana. Boleh dibilang kongres Kendari menjadi akhir era kekuasaan Amien Rais di PAN.

Hal yang demikian bukanlah baru dalam perpolitikan tanah air. Sebelumnya beberapa waktu yang lalu PKB yang notabene identik dengan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) juga mengalami hal yang sama. Muhaimin Iskandar yang sebelumnya anak emas Gus Dur dan menjadi sekjen PKB dalam perjalannya justru mengambil alih PKB dari trah Gus Dur yang kala itu dipimpin oleh Yeny Wahid setelah diawali dualisme kepengurusan partai namun keputusan Menkuham di jaman SBY memenangkan kubu Muhaimin Iskadar.

Keputusan itu sekaligus menjadi akhir era Gus Dur di PKB. Pengaruhnya pun akhir semakin mengecil setelah Gus Dur meninggal. Saat ini hampir tidak kita temukan jejaring Gus Dur dalam tubuh PKB.

Dua peristiwa di atas sesungguh bukan sesuatu yang luar biasa karena akan juga terjadi pada semua partai politik, teristimewa pada partai-partai politik yang menjadikan tokoh tertentu sebagai andalan. Misalnya saja Megawati di PDIP, SBY di Demokrat, Prabowo di Gerindra, dan Suryo Paloh di Nasdem. Apa yang terjadi di PKB dan PAN tidak mungkin juga akan terjadi di partai-partai yang lain.

Hal ini bisa terjadi setidaknya ada beberapa alasan. Pertama, sebagian besar peserta kongres tidak mengambil bagian dalam proses menjadikan partai sehingga secara emosional tidak ada kekuatan yang menyatukan. Akhirnya yang terjadi adalah traksaksional.

Kedua, para penerus trah dalam partai politik cenderung priyayi sehingga berharap bahwa seluruh anggota partai otomatis memberikan dukungan tanpa perlu merawat jaringan, membangun komunikasi yang sifatnya personal dan persuasi.

Ketiga, kenyataan bahwa semua partai politik hari ini relatif transaksional. Tidak ada ideologi besar yang dijadikan alasan untuk bersatu. Hampir sulit membedakan jeroan dari masing-masing partai politik kalau menjadikan ideologi sebagai alat ukur. Apalagi semua berideologi Pancasila. Sementara perilaku dari setiap parpol tidak ada bedanya.

Dua peristiwa dalam rentang waktu yang berbeda perlu mendapat perhatian bagi para kandidat yang akan meneruskan kekuasaan di masing-masing partai hari setelah era para pendiri yang nota bene hari ini masih menguasai partai politik masing-masing. Bila tidak disiapkan sungguh-sungguh, maka bukan tidak mungkin pada saatnya akan terjadi free fight dan yang kuat -baik sosial maupun kapital – akan keluar sebagai pemenang dan menguasai partai politik. Dan para pemilik kapital atau politisi yang mendompleng pemilik kapital besar cenderung akan keluar sebagai pemenang.

Akhirnya sosok-sosok hebat seperti Gus Dur dan Amien Rais akan kehilangan jejak di partai politik yang mereka lahirkan. Mudah-mudahkan apa yang menimpa Gus Dur dan Amien Rais dalam peristiwa politik di atas memberi pelajaran kepada penerus di masing-masing partai politik untuk mengubah prespektif dari Ndoro menjadi organisatoris partai yang dengan rendah hati mulai membangun komunikasi dengan para pemilik suara agar tidak ditelikung pada saat kongres atau munas, mengingat para penerus tidak memiliki nilai historis yang kuat sebagai alasan untuk otomatis dipilih seperti era orang tua mereka.

Pengalaman PKB dan PAN baik bagi perkembangan politik di tanah air bahwa menjadi pemimpin tidak lagi feodal namun sedapat mungkin egaliter. Semoga.(*)