Religi  

Sejarah Bulan Syawal, Bulan Mulai Berkumpulnya Rasulullah Dengan Aisyah Ra

Habib Farid Ibrahim Fakhir Asseqqaf
Habib Farid Ibrahim Fakhir Asseqqaf

Bulan Syawal merupakan bulan yang sangat bersejarah bagi umat Islam. Karena di bulan itulah Nabi Muhammad Saw mulai berkumpul dengan istri, Sayyidah Aisyah Ra.

BANJARMASIN, koranbanjar.net – Sejarah ini diceritakan Habib Farid Ibrahim Fakhir Asseqqaf lewat tausiyahnya yang disampaikan melalui media ini, Sabtu (7/5/2022) di Banjarmasin.

Dikisahkan, waktu itu Sayyidah Aisyah dinikahi Rasulullah Saw di Makkah saat masih berusia tujuh tahun.

“Karena masih kecil, maka Sayyidah Aisyah dibiarkan tinggal di rumah Rasulullah, sampai waktu melakukan hijrah pertama di bulan Syawal, barulah beliau (Rasulullah) berkumpul dengan istri beliau Sayyidah Aisyah,” kisahnya.

Oleh karena itu kata Habib Farid, masyarakat Indonesia umumnya, Kalimantan Selatan khususnya banyak melakukan pernikahan di bulan Syawal.

“Kalaupun nikah di bulan Ramadan, biasa resepsinya di bulan Syawal karena mengikuti sunahnya Rasulullah mengumpuli istrinya Sayyidah Aisyah di bulan Syawal,” tuturnya.

Adapun terkait puasa di bulan Syawal, Habib Farid menyebutkan sebuah hadits Al Imam Muslim, bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadan kemudian mengikutkannya (menyambungnya) puasa enam hari di bulan Syawal, maka ia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang berpuasa selama satu tahun,” ucap Habib Farid mengutip hadits tersebut.

Dikatakan, berpuasa enam hari di bulan Syawal disunahkan karena bulan Syawal adalah termasuk bulan mulia.

Adapun fadilahnya (keistimewaan), berdasarkan sabda Rasulullah Saw diriwayatkan oleh Imam Tabrani, “Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadan lalu diikuti dengan puasa enam hari di bulan Syawal maka runtuhlah segala dosanya, sehingga mendapat kemuliaan seperti bayi baru lahir.”

Lanjutnya, para ulama mengatakan paling afdol (baik) berpuasa Syawal sehabis Hari Raya Idul Fitri dua hari.

“Karena dalilnya mengarah ke sana, kata “mengikutkannya” artinya setelah lebaran dua hari langsung diikuti puasa selama enam hari,” terangnya.

Namun kalimat dalam hadits menyebutkan pula bulan Syawal, artinya juga bisa dilakukan kapan saja selama tidak keluar dari bulan tersebut.

“Artinya masih dalam suasana bulan Syawal,” demikian diutarakan Habib Farid Ibrahim Fakhir Asseqqaf.(yon/sir)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *