Pihak Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Ukhuwah Banjarmasin menggelar konferensi pers memberikan klarifikasi terkait kasus dugaan perundungan atau bullying yang terjadi pada Jumat (21/2/2025) lalu.
BANJARMASIN, koranbanjar.net – Dalam konferensi pers yang dilaksanakan, Kamis (6/3/2025) di Aula SDIT Ukhuwah Banjarmasin Jalan Lingkar Dalam Kota Banjarmasin, pihak sekolah melalui kuasa hukumnya BK Dewa Krisna menyesalkan pemberitaan yang beredar dan viral mengenai terjadinya kasus perkelahian antar siswa namun disimpulkan perundungan atau bullying.
“Permasalahan sebenarnya tidak seperti apa yang ribut diberitakan selama ini. Padahal hanyalah perkelahian antar siswa,” ujar Dewa biasa dirinya dipanggil.
Kalau dibully, lanjutnya, korban ditindas atau diintimidasi secara terus-menerus. Sedangkan persoalan antar dua siswa yang sama-sama berusia kurang lebih 10 tahun dan di kelas yang sama, yakni di kelas 5, adalah perkelahian biasa yang spontan dilakukan di sela-sela bercanda.
“Namun akibat pemberitaan yang meluas sehingga berdampak besar, tidak hanya pada orang tua murid, tetapi sekaligus pada kedua anak yang berkonflik,” ungkapnya.
Pihak SDIT Ukhuwah Banjarmasin menilai pemberitaan tersebut terlampau keras hingga sampai membuat laporan kepolisan (LP).
Menyinggung soal LP, menurut Dewa yang mengaku sebagai orang hukum dan kerap menangani perkara-perkara besar harusnya paham tentang penerbitan LP dalam hal keterlibatan anak dibawah umur.
“Baik pelapor maupun terlapor adalah sama-sama anak di bawah umur. Apakah penyidik ini menerima laporan ini memahami tentang diversi anak, kita masih belum tahu,” akunya.
Dewa juga berujar apakah korban mengalami luka serius atau luka besar. Menurutnya banyak kejanggalan-kejanggalan atas terbitnya LP tersebut.
Adapun terkait permintaan orang tua korban yang menginginkan orang tua pelaku meminta maaf, pihak SDIT Ukhuwah Banjarmasin sudah memfasilitasi dengan melakukan pertemuan antar masing-masing orang tua yang berkonflik.
Dikatakan Dewa, ayah pelaku sudah meminta maaf. Namun, keinginan kedua orang tua korban agar ibu pelaku juga berbuat demikian.
“Kenapa harus sampai masuk kesana terlalu memaksakan, bisa saja ibu pelaku kondisi mentalnya lagi tidak siap. Orang kalau sudah minta maaf harusnya ikhlas, cukup salah satu orang tuanya yang meminta maaf kan sudah cukup itu,” bebernya.
Pihak SDIT Ukhuwah Banjarmasin juga mengklaim sudah melakukan mediasi dan memberikan sanksi kepada pelaku. Bahkan dalam mengambil sebuah keputusan sanksi tersebut melibatkan manajemen pihak sekolah dengan pertimbangan yang sangat luar biasa.
Terkait sanksi yang diberikan kepada pelaku pun sebenarnya itu sudah luar biasa jauh lebih tinggi dari sanksi yang biasa diberikan setiap ada pelanggaran.
Namun, orang tua korban merasa masih belum puas dengan keputusan sanksi yang diberikan pihak sekolah. Mereka meminta pelaku di Droup Out (DO) dari SDIT Ukhuwah Banjarmasin.
“Kemudian diblokir dari semua SDIT Ukhuwah Banjarmasin, baik di SDIT Ukhuwah satu maupun SDIT Ukhuwah dua,” ungkap salah satu guru bidang kesiswaan.
Bukan hanya itu, orang tua korban meminta sejumlah uang dengan alasan untuk pemulihan kondisi psikologis korban dengan besaran kurang lebih sebesar Rp140 juta dengan rincian sebagai berikut, Rp3.000.000/pekan atau per minggu.
“Kemudian dikalikan satu bulan dan dikalikan lagi satu tahun atau selama dua belas bulan,” terangnya.
Namun saat itu pihak sekolah belum bisa memberikan keputusan. Lalu orang tua korban meninggalkan ruangan sembari berucap permasalahan ini akan diteruskan dengan membuat laporan kepolisian.
“Orang tua korban juga mengancam masalah ini akan diviralkan, satu menit saya menghubungi semua media massa akan datang, seperti itu kalimatnya,” bebernya.
Lalu mengapa pihak SDIT Ukhuwah Banjarmasin baru sekarang memberikan respon terhadap pemberitaan yang terkesan menyudutkan pihak sekolah.
Menurut Dewa, karena memerlukan pertimbangan yang mendalam, serta menentukan langkah terbaik apa yang harusnya diambil.
“Karena ini akan berdampak pada perkembangan siswa termasuk pelapor dan terlapor akan datang,” katanya.
Atas pemberitaan yang sangat disayangkan itu akhirnya pihak sekolah mendapat desakan dari para orang tua siswa. Sehingga mengharuskan dirinya membackup SDIT Ukhuwah Banjarmasin untuk menentukan langkah apa yang diambil apakah menempuh jalur hukum atau langkah lainnya.
“Karena siswa yang bersekolah di sini dari berbagai kalangan, bawah, menengah dan atas, bahkan anak para pejabat publik juga di sini, tau sendiri lah gak usah disebutin,” ucapnya.
Pihak SDIT Ukhuwah Banjarmasin sendiri, jika terkait perundungan atau bullying sangatlah menentang keras kalau sampai terjadi.
“Namun dibuat seolah perundungan itu benar terjadi di sekolah ini,” sebutnya.
Kalau yang diceritakan itu, sambung Dewa, adalah sebuah kronologis. “Akan tetapi kita belum mengetahui kebenarannya,” kata Dewa sembari menunjukan video rekaman CCTV dari awal hingga akhir.
“Supaya rekan-rekan media dan masyarakat tidak mudah berkesimpulan hanya karena menyaksikan bagian-bagian tertentu video rekaman CCTV,” tandasnya.
Karena pihak orang tua korban sudah membawa masalah ini ke ranah hukum dan menyebarluaskan hingga menjadi viral di media sosial, sehingga membuat buruk nama SDIT Ukhuwah Banjarmasin.
“Padahal tidak seperti apa yang digambarkan. Maka kami juga akan mengambil langkah hukum,” pungkasnya.
Orang Tua Korban Mengakui Meminta Sejumlah Uang
Sementara orang tua korban mengakui bahwa benar telah meminta sejumlah uang sebagai bentuk sanksi dan pertanggungjawaban dari pihak pelaku atas apa yang sudah dilakukan terhadap buah hatinya.
“Pihak sekolah bertanya kepada saya maunya bapak apa. Kalau saya ditanya maunya saya apa. Saya mau anak ini di drop out dan keluarga bertanggungjawab nominalnya kurang lebih Rp140 juta untuk penyembuhan pemulihan kondisi mental anak saya di dokter psikiater,” ungkap ayah korban Reza Febiardi.
Lantas berdasarkan apa? Reza merincikan, 3 juta sekali pertemuan dalam sebulan 4 kali menjadi 12 juta kemudian dikalikan setahun. Itu pun kata Reza kalau sembuh.
“Tapi, ada tapinya nih. Apakah saya mau? Kalau ditanya maunya saya. Tetapi saya tidak mau. Saya maunya orang tuanya pelaku datang baik-baik bawa anaknya meminta maaf. Minta maaf kamu, kamu sudah menginjak-injak anak orang, selesai sudah gak sampai sejauh ini,” inginnya.
Namun, sangat disayangkan tidak ada niat baik dari orang tua pelaku, sampai detik ini tidak ada menghubungi dirinya maupun sang istri.
Reza juga mengaku memang ayah pelaku sudah meminta maaf, akan tetapi maunya Reza, ibunya juga berucap demikian. “Tapi nyatanya ibunya tidak bicara sepatah katapun,” ujarnya.
“Jadi sangat disayangkan sikap orang tua pelaku bukan yang kami harapkan,” sambungnya.
Bahkan istrinya sudah pernah meminta orang tua pelaku agar menghubungi dirinya atau istrinya melalui chat di grup WhatsApp sekolah, namun tidak juga datang ke rumah atau menghubungi balik dirinya maupun istrinya sampai detik ini.
“Bahkan sejak kejadian itu, grup WhatsApp sekolah disetting hanya admin yang boleh mengirim pesan, kan aneh mana niat baik orang tua,” bebernya.
Dirinya berkesimpulan pihak sekolah telah melakukan pembiaran terhadap masalah ini. Kemudian tidak ada niat dan upaya baik dari orang tua pelaku.
“Ini yang saya tangkap,” ucapnya.
Disinggung soal mediasi, Reza membantah tidak ada mediasi. Menurutnya jika ada mediasi harusnya ada kesepakatan, ada notulen dan semua pihak berhadir, sementara orang tua pelaku tidak didatangkan.
“Awalnya memang benar orang tua pelaku datang, itu pertemuan di hari senin. Namun apa yang terjadi tidak ada kesepakatan, tidak ada tanda tangan pihak pelaku dan pihak kami, yang terjadi hanyalah debat kusir,” ungkapnya.
Dalam surat itu, lebih lanjut dibeberkan Reza, ada poin-poin yang disebutkan, diantaranya pelaku diskorsing selama 5 hari.
Kemudian poin berikutnya pihak sekolah bertanggungjawab dalam hal pemulihan kondisi mental korban dibantu keluarga pelaku.
“Tapi tidak ditentukan nominalnya berapa, sistem pembayaranya seperti apa, gimana caranya. Apakah setiap anak mau berobat, saya harus datang minta duitnya ke orang tua pelaku. Ibu, Bapak Kepala Sekolah kami bukan pengemis,” tegasnya.
“Jadi keinginan kami simple aja, orang tuanya datang tunjukkan niat baiknya, dan apa bentuk tanggungjawabnya, serta pihak sekolah harus ikut serta mengambil tindakan tegas,” tuturnya.
Kalau sanksi skorsing 5 hari ini dianggap tindakan tegas dan paling berat, Reza berucap rasanya dirinya hendak sekolah di sana dan menghajar-hajar siswa disana.
“Lha cuman diskors lima hari kok, katanya udah paling berat itu,” ucapnya.
Menurutnya, biarpun pihak sekolah mengklaim tidak ada bullying, fakta yang ada menunjukkan penganiayaan dan pengeroyokan fisik.
“Kita buktikan saja di polisi dan persidangan,” tegasnya.
Reza menyebut pihaknya telah memiliki bukti kuat, seperti rekaman CCTV, hasil visum, serta rekam medis anaknya sehari setelah kejadian.
Menanggapi pihak SDIT Ukhuwah Banjarmasin akan melakukan upaya hukum, Reza berkata silahkan saja itu hak mereka mau menuntut.
“Kami hanyalah korban, kami disini ingin keadilan seadil-adilnya bagi pelaku dan institusi tempat ia menimba ilmu,” inginnya.
Menurut pengakuan Reza, saat ini anaknya susah bergaul, banyak menyendiri dan sering mengurung diri di kamar. Jika kemana-mana selalu minta ditemani dalam arti kata mengalami trauma berat.
“Kendati demikian dia hanya mau les di tempat biasa, hanya itu ia mau. Selebihnya diajak kemana saja dia enggan dan seperti ketakutan apalagi ke Ukhuwah ia gak mau lagi. Intinya sikap anak saya drastis berubah dari sifat asalnya,” pungkasnya.
Untuk diketahui, kejadian ini dialami seorang siswa kelas 5 SD Islam Terpadu (IT) Ukhuwah Banjarmasin. Ia diduga jadi korban pengeroyokan yang diduga perundungan oleh beberapa teman sekolahnya, pada Jumat (21/2/2025) lalu.
Hal tersebut diketahui setelah orangtuanya melihat kejadian tersebut, yang terekam kamera CCTV sekolah.
Dalam rekaman itu terlihat beberapa siswa yang diduga menganiaya murid lainnya. Peristiwa itu membuat korban mengalami luka lebam dan memar di sekujur tubuh anaknya.
Ayah korban, Reza Febiardi (39) yang tidak terima dengan kejadian yang dialami anaknya itu, kemudian melaporkan kasus itu ke Mapolresta Banjarmasin. (yon/bay)