Tak Berkategori  

Rintihan Pencari Ikan Sungai Amandit Yang Sering Keruh

SEJAK sungai Amandit sering keruh, bukan hanya kebutuhan air bersih yang terganggu tetapi juga berimbas ke sumber penghasilan masyarakat. Pencari ikan dan pengumpul batu sungai kini semakin tersudutkan, wisata sungai pun terancam. Berikut kisahnya.

Muhammad Hidayat, Padang Batung

KAMIS 11 Juli 2019 malam saya berkunjung ke Desa Jelatang, kecamatan Padang Batung. Kedatangan saya untuk bersilaturahmi dengan beberapa nelayan atau pencari ikan di sana. Kabarnya, mencari ikan di Sungai Amandit di Desa Jelatang rami, dan saya pun ingin merasakan bagaimana mencari ikan versi para nelayan Desa Jelatang.

Namun sayang, harapan saya sirna karena gagal mencari ikan. Musababnya, air Sungai Amandit kembali keruh pada malam itu. Saya pun mengahabiskan malam dengan berbincang-bincang dengan nelayan di sana.

Dia namanya Bambang, asli warga Desa Jelatang. Dia mengatakan, alasan kebiasaan masyarakat mencari ikan pada malam hari menyisir sungai, sebab jika siang hari dikhawatirkan banyak ikan buntal yang berkeliaran, karena ikan buntal bisa melukai manusia dari gigitannya. Bahkan kabarnya si buntal ini bisa memakan daging manusia!

Rata-rata mereka menangkap ikan dengan cara menyelam. Peralatan menyelam yang biasa para nelayan gunakan seperti kacamata air dan senjata tombak (spear gun), yaitu senjata buatan dari bambu kecil bermata kawat besar yang di-pegaskan pada tali karet.

Bambang mengisahkan, biasanya ia maupun warga lain mencari ikan mulai matahari tenggelam. Batas waktunya tidak menentu sampai dirasa cukup.

“Bila sudah banyak dapat, atau sudah lama di air, baru pulang (ke rumah),” kata pria 45 tahun itu.

Ikan yang didapat biasanya seperti hampala, tawes atau masyarakat menyebut lampam putih, puyau, mangkih dan buin.

Asal bisa menyelam, paling sedikit setengah kilogram per orang dapat ikan. Jika yang sudah mahir bisa sampai empat kilogram. “Jadi jika dijual paling sedikit bisa dapat 40 ribu rupiah,” tutur Bambang.

Menjualnya tidak ke pasar, tetapi ke warga sekitar. Sehingga pencari ikan menjadi salah satu pemasok ikan di wilayahnya sendiri. Jika mereka tidak dapat ikan, terpaksa masyarakat membeli ikan ke daerah lain.

Malam itu air sungai sedang keruh sehingga para nelayan tidak bisa turun ke sungai, akhirnya mereka hanya bersantai di depan rumah dan berkumpul dengan warga.

“Bagaimana mau menombak (mencari ikan), jika kondisi air sedang keruh mana bisa melihat dalam air,” ucap Bambang dengan nada agak tinggi.

Di Desa Jelatang sekitar 15 orang yang melakukan usaha mencari ikan, sedangkan di Desa tetangga, Desa Durian Rabung lebih dari 20 orang. Itu hanya jumlah di sekitar lokasi bendungan Amandit, belum terhitung sampai ke kota Kandangan dan seterusnya.

Ironisnya, sejak dibangunnya bendungan, masyarakat yang tinggal di Loksado harus lebih payah mencari ikan sampai ke hilir bendungan Amandit hingga ke Desa Lungau. Hal itu karena ikan-ikan yang sering menaiki arus tidak bisa lagi ke hulu karena adanya bendungan.

Saya menyaksikan langsung beberapa minggu lalu, betapa kecewanya seorang warga asal Desa Halunuk, kecamatan Loksado. Dia jauh-jauh turun ke hilir ternyata airnya keruh sehingga tidak bisa turun menombak ikan.

Tidak semua masyarakat menjadikan mencari ikan sebagai profesi utama, karena kegiatan menombak ikan kebanyakan saat musim kemarau. Tetapi cukup untuk menambah penghasilan sehari-hari, serta kegiatan mencari ikan seperti itu dilakukan sejak zaman nenek moyang.

Memang masih ada cara lain; mencari ikan di aliran irigasi dekat dengan kampung tersebut yang tidak terkena aliran air keruh. Tetapi di sana ikannya tidak sebanyak di sungai, sehingga mungkin hanya satu orang yang bisa turun, itu pun tidak memperoleh hasil yang sesuai harapan.

Kebetulan malam itu seorang pemuda bernama Sarpani datang memperlihatkan hasil tangkapan ikan di aliran irigasi, yang bisa dikatakan lumayan, karena ia sendirian turun.

Tak hanya pencari ikan dengan cara menombak, pencari ikan dengan alat pancing ikan pun juga tidak bisa, sebab jika air keruh ikan-ikan tidak melihat umpan.

“Ada kemarin, warga sudah lansia yang mengharap pendapatan hanya dari memancing ikan mengaku kecewa karena air sering keruh tersebut,” ucap Bambang lagi.

Tidak hanya pencari ikan, Bambang menuturkan ketika masyarakat sedang berkumpul, semua membicarakan keluhan air sungai. Bambang mencontohkan pencari batu sungai manual yang menyelam, ketika bangkit dari sungai badannya akan berwarna bahkan kacamata air nya pun sampai kotor.

Selain itu, saat kemarau, ada sebuah wisata sungai di Desa Jelatang bernama Pantai Hinamut. Bambang berujar, masyarakat khawatir wisata itu akan kehilangan pamor jika saat pengunjung datang ternyata air sedang keruh.

“Padahal ini merupakan wisata musiman, jika musim air pasang tidak akan ada,” ucapnya.

Bambang memastikan keruhnya sungai Amandit berasal dari limbah pembuangan usaha pertambangan, tetapi ia menegaskan tidak meminta kompensasi ataupun minta dipekerjakan di perusahaan, tetapi semua masyarakat menginginkan bagaimana caranya sungai kembali bisa memberi manfaat maksimal kepada warga.

“Memang ada isu beredar kadar Ph masih layak konsumsi, bukan masalah itu kami tidak peduli kualitas Ph, bahkan jika mengandung zat radioaktif sekalipun asal jernih tidak masalah, kami bisa menyelam ke dalam air,” ucapnya rada kesal.

Solusi sementara ia berharap pemilik konsesi pertambangan meminta kontraktor atau siapapun yang bekerja menyeragamkan waktu pembuangkan limbah.

“Jika memang tidak bisa membuang limbah selain ke sungai juga, paling tidak datangi warga dan berikan jadwal waktu pembuangan agar kami tahu kapan harus tidak mencari ikan, misalnya membuang Jumat- Sabtu saja,” paparnya.

Itu hanya kemungkinan antisipasi terburuk saja, ia mengatakan warga mengharapkan air sungai kembali jernih setiap saat agar citra sungai Amandit yang jernih tetap terjaga. (dra)