Rezeki Di Balik Pekatnya Debu (Bagian 2)  

BAKUMPAI, koranbanjar.net – Bagaimana tidak, sepanjang hari bekerja selama hampir 12 jam, Udin berkutat bersama debu tanpa pelindung pernafasan satu helai kain pun. Belum lagi truck-truck besar bak monster yang lalu lalang setiap saat yang bisa mencelakakan tubuhnya.

Dalam mengatur lalu lintas, lebih dari pakaian sewajarnya, Udin hanya mengenakan rompi, sepasang sandal dan topi yang sekedar melindungi kepalanya dari panas matahari.

“Apabila kena giliran siang, ya panas. Kena giliran tugas malam ya dingin. Mau bagaimana lagi. Kalau debu itu sudah biasa karena memang sesuatu yang tak dapat dihindari lagi apabila bekerja di sini. Dari awal saya memang tak pernah memakai masker untuk penutup hidung. Pekerja yang lain juga begitu, tak pernah memakai masker,” ujarnya kepada koranbanjar.net.

Menurut pria yang dalam kesehariannya mencari batang dari pohon galam untuk dijualnya itu, ia hanyalah salah satu dari seratus orang lebih yang juga bekerja sebagai flagman di perempatan jalan itu.

Pria tamatan SMP itu menceritakan, flagman yang ditugaskan di perempatan jalan PT Talenta Bumi itu seluruhnya berasal dari warga yang ada di dua desa, yaitu Desa Kuatik Luar dan Desa Kuatik Dalam. Masing-masing flagman mendapat giliran tugas satu kali dalam satu bulan.

“Setiap satu kepala keluarga mendapat hak bekerja menjadi flagman di sini. Semuanya laki-laki. Yang bekerja, kalau tidak kepala keluarga itu sendiri, atau yang mewakili, misalnya seorang anak laki-laki dari satu kepala keluarga,” tuturnya.

Pekerjaan berat yang dialami Jam’anudin warga Desa Kuatik Luar RT 2 Kecamatan Bakumpai ini diganjar dengan gaji 70.000 rupiah setiap kali bekerja.

Nampaknya gaji seperti itu sesuai untuknya. Namun apabila dilihat lebih dalam, imbalan gaji 70.000 rupiah itu belum setimpal dengan resiko yang ia jalani, mengingat debu yang ia hirup dan kendaraan-kendaraan besar yang lalu-lalang berjarak sangat dekat dengan dirinya.

“Gajinya 70.000 ribu per orang selama satu hari bekerja. Lumayan sih jika setiap hari bekerja di sini. Tapi karena bergiliran, 70.000 berikutnya saya dapatkan 1 bulan kemudian. Kalau hari ini tanggal 2 maret giliran saya siang dari jam 7 pagi hingga jam 5 sore, maka giliran saya kembali ke sini tanggal 2 april malam. Ini sudah kesepakatan pihak pemerintah desa dengan pihak perusahaan,” ungkapnya.

Untuk selalu mencukupi kebutuhan ia bersama istrinya yang sedang berbadan dua, setiap harinya udin pergi ke hutan untuk menebang pohon galam.

“Setiap harinya saya mencari batang galam. Setelah banyak saya kumpulkan, saya jual ke pengepul. Hasilnya cukup tidak cukup, ya harus cukup,” terangnya.

Dalam kesehariaannya, Udin mengakui tak pernah mengeluh. Menurutnya, ia harus tetap bekerja semampunya.

“Kalau kita memilih untuk menyanggupinya, buat apa lagi dikeluhkan. Mengeluh tak menghasilkan apa-apa. Jadi saya kerjakan saja semampu saya,” jelasnya.

Kisah nyata Jam’anudin sebagai seorang flagman ini hanya salah satu potret dari ribuan manusia yang hidup diatas garis kerasnya kehidupan.

Dibaik kisah ini terselip sebuah pesan, rezeki-Nya bisa datang dari mana saja, meski dibalik ribuan debu sekalipun. Sebagai penikmat rezeki-Nya, kita manusia wajib mensyukurinya tanpa harus merasa kekurangan, apalagi mengeluhkannya. (dny/kie)

Tamat.