Religi  

Rapal Rindu Si Ibu di Kematian Sang Anak Petugas KPPS

HULU SUNGAI SELATAN, KORANBANJAR.NET – Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS) juga tak luput dari kematian beruntun petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di Indonesia, di kurun waktu dua minggu setelah pemungutan suara dalam pemilu serentak, 17 April lalu.

Laporan Jurnalis KoranBanjar.Net, MUHAMMAD HIDYAT, Daha Selatan – Hulu Sungai Selatan

Kematian petugas KPPS di wilayah Kabupaten HSS menimpa Ahmad, warga Desa Muning Tengah RT 1, Kecamatan Daha Selatan, pada 25 April lalu.

Ini tentu menjadi duka mendalam bagi keluarga yang ditinggalkan. Bahkan 25 hari pasca kematian muda Ahmad, duka bagi pihak keluarga yang ditinggalkan kini menjadi rindu yang sulit terobati.

Itu tampak jelas terlihat pada diri Junnah, ibunda tercinta Ahmad. Di rumahnya di Desa Muning Tengah, saat ditemui koranbanjar.net, Minggu (19/5/2019), Junnah terus merapal rindunya kepada Ahmad yang kini sudah tiada.

Sambil berurai air mata, dia mengisahkan kenangannya bersama putra tercinta.

“Kaganangan aku lawan inya katuju mamondok haja gawiannya. Amun masalah bararamian inya kada biasa umpat batangah malam, kacuali pangajian dan KPPS ini ja (saya rindu dengan Ahmad yang suka menuntut ilmu agama. Dia tidak biasa ikut keluar malam kecuali untuk mengaji agama dan tugas KPPS saja),” ungkapnya dengan mata berkaca-kaca.

Diakui Junnah, Ahmad adalah seorang anak yang berbakti dan patuh kepada orang tua. Sifat berbakti itulah yang membuat remaja lajang itu menjadi disayang keluarga. Namun nasib berkata lain, Ahmad lebih dulu pergi setelah satu bulan menginjak usianya yang ke 19.

Padahal menurut Junah bersama anggota keluarga lainnya, sebelum bertugas dalam pemungutan suara, 17 April lalu, Ahmad sehat-sehat saja dan tidak sama sekali memiliki riwayat penyakit.

Bahkan surat kesehatan dari puskesmas setempat menjadi persyaratan paling pertama yang dilengkapi petugas KPPS TPS 3 Jalan Negara RT 1, Desa Muning Tengah itu.

Namun entah kenapa, kata Junnah, saat tengah malam (antara 17-18 April) sepulangnya dari TPS 3, Ahmad mengalami kelelahan berat.

Junah menceritakan, setibanya di rumah Ahmad langsung berganti pakaian dan minta dibuatkan mie instan.

“Handak mie barandam ujahnya (mau makan dan dibuatkan mie instan katanya),” tutur Junnah menirukan permintaan putranya pada waktu itu.

Junnah yang mencoba menawarkan nasi namun ditolak Ahmad, lantas mengiyakan saja kehendak putra tersayangnya dengan membuatkan mie instan.

Keesokan harinya, Kamis (18/5/2019) pagi, pria lulusan SMK di Daha Selatan itu masih mengalami kelelahan dan hanya berdiam di kamarnya.

Saat diajak untuk diperiksa kesehatannya ke puskesmas, Ahmad menolak dengan alasan tidak ingin meninggalkan rumah.

“Baoleng haja kada hakun. Beberapa hari itu inya mengeluh kauyuhan dan selalu mengantuk handak guring tarus tapi kadada keluhan sakit di mana-mana (Ahmad hanya menggelengkan kepalanya ketika diajak ke puskesmas. Beberapa hari itu dia mengeluh kelelahan dan selalu mengantuk ingin tidur terus, tapi tidak ada keluhan sakit di bagian tubuhnya),” ujar perempuan 40 tahunan itu.

Menurut Junnah, kondisi terbaring lemah karena kelelahan itu terus dialami Ahmad dalam sepekan pasca pemungutan suara serentak. Masih bisa diajak bicara membuat keluarga tak memiliki prasangka apa-apa terhadap kondisi Ahmad.

Hingga pada suatu pagi di hari ke delapan pasca pemungutan suara, Kamis (25/5/2019), Ahmad akhinya menemui ajalnya. Seisi rumah pun pecah menjadi tangis karena tak kuasa menerima kenyataan kepergian Ahmad.

“Takajut dintu mudil hanyut guring kadada bangat, tapi pas paginya timbul meninggal. Uma ya Allah (mendadak seperti tidur dan tidak ada tanda parah, tapi pas paginya tiba-tiba meninggal. Ya Allah),” ucap sang ibu melirih dengan kucuran air mata.

Junnah mencurahkan perasaanya dengan berkata seandainya nyawa bisa ditebus, berapapun uang yang harus dikeluarkan akan dia bayar asal sang anak masih bisa hidup.

“Itu ibaratnya dari pada membawa hati nang wahini rahatan sedih-sedihnya (itu ibaratnya dari pada membawa hati yang saat ini lagi sedih sekali),” katanya.

Dibelikan Ces agar Selalu Dekat Keluarga

Meski masih terbilang remaja, namun semasa hidupnya sebagai laki-laki yang sudah tamat sekolah tingkat atas, tentu saja Ahmad berpikir dirinya harus bisa mandiri dan dapat menghasilkan uang dengan pekerjaan yang dia mau.

Namun oleh sang ibu tercinta, karena saking sayangnya dan tak ingin terpisah dengan anak, Ahmad tidak diizinkan bekerja jauh dari rumah, apalagi sampai bekerja ke ibu kota kabupaten (Kandangan).

“Banyakai nang sudah mambawainya bagawi ke kota, kaya ke perusahaan batu bara, tapi kada ku izinakan. Di sini masih banyak haja usaha (sudah banyak yang mengajak Ahmad bekerja di kota, seperti bekerja di perusahaan batu bara, tapi tidak saya izinkan. Di sini masih banyak usaha atau pekerjaaan),” cerita Junnah.

Selain karena sayang, alasan Ibu Ahmad tidak mengizinkan putranya bekerja jauh karena usianya masih terbilang muda.

Karenanya, untuk bisa mencegah kehendak anaknya bekerja jauh, ibunya membelikan ces (perahu bermesin) untuk usaha mencari ikan di tempat mereka.

Maklum, lazimnya wilayah Nagara di Daha, perkampungan di Desa Muning Tengah banyak terdapat rawa dan sungai. Kondisi alam seperti itu membuat usaha perikanan menjadi potensi yang tinggi di wilayah tersebut.

“Masih puga dan sawat dipakai Ahmad beberapa kali mambawa tampirai (masih baru dan Ahmad sempat memakai beberapa kali membawa alat perangkap ikan),” ujar Junnah.

Status Whatsapp Jelang Kematian

Menjelang kematiannya, Junnah dan keluarga lainnya tak merasakan firasat atau hal aneh apapun dari Ahmad. Namun menurut kakak perempuan Ahmad, Khadijah, teman-teman Ahmad sempat membaca status whatsapp dari Ahmad yang menuliskan tentang dirinya sedang rindu Rasulullah.

“Beberapa temannya mengatakan ada membaca status whatsapp Ahmad seperti itu,” ungkap Khadijah.

Selain itu, perempuan 27 tahun itu menyebut Ahmad sering manja dengan memeluk dan mencium atau memijiti orangtuanya.

“Tapi itu sudah kebiasaan Ahmad dari kecil seperti itu, jadi kami anggap sudah biasa saja,” ucap sang kakak dengan deraian air mata.

Ahmad kemudian dikuburkan tak lama setelah dirinya meninggal, di pemakaman keluarga, tepat di seberang jalan rumahnya.

Kuburan Ahmad. (foto: yat/koranbanjar.net)

Pihak keluarga mengatakan hingga kini mereka tidak tahu mengenai proses dan kabar tentang santunan petugas KPPS yang meninggal. Mereka juga menuturkan tak berharap banyak dengan santunan tersebut.

Petugas PPK Kecamatan Daha Selatan, Agus, saat dikonfirmasi koranbanjar.net melalui pesan whatsapp, mengatakan pihaknya sudah membuat laporan ke KPU terkait data identifikasi Ahmad.

Dalam dua minggu pasca pemungutan suara serentak, kematian petugas pemilu nyaris terjadi di setiap wilayah di Kalsel. Dari 13 kabupaten dan kota, hanya Kabupaten Barito Kuala (Batola) dan Kotabaru saja yang tidak mengalami kematian petugas pemilu.

Saat ini kematian petugas pemilu di Kalsel tercatat mencapai 22 jiwa termasuk petugas KPPS. Sedangkan untuk seluruh wilayah di Indonesia tercatat ada 5 ratus lebih petugas KPPS yang meninggal dan 11 ribu lebih yang sakit.

Ketua KPU Kalsel, Sarmuji, dalam wawancara kepada koranbanjar.net sebelumnya, meyakini faktor kelelahan menjadi penyebab utama banyaknya kematian petugas KPPS dalam pemilu serentak tahun ini.

Menurutnya faktor kelelahan tersebut disebabkan karena pemilu dilakukan secara serentak.

“Bagusnya pemilu serentak ini dirubah saja polanya, legislatif dulu kemudian baru pencalonan eksekutif, sehingga tidak penuh kerjanya. Saya berpikir mekanisme pemilu 2019 ini nantinya tak akan terpakai pada 2024,” ucapnya. (*)