Raja Banjar Pertama; Asal-Usul Dinamai Sultan Suriansyah

Raja Banjar pertama, Sultan Suriansyah juga memiliki nama Sultan Suryanullah (Panembahan Batu Habang). Dia juga disebut Sultan Suria Angsa yang pertama memeluk Islam. Ia memerintah tahun 1500-1540. Banyak nama yang dinobatkan kepada raja Banjar ini, berikut asal-usul sehingga dinamai Sultan Suriansyah.

BANJARMASIN, koranbanjar.net – Sultan Suriansyah juga disebut Pangeran Jaya Sutera atau Jaya Samudera, yang merupakan raja Banjar pertama sekaligus raja Kalimantan pertama yang bergelar Sultan yaitu Sultan Suryanullah.

Gelar Sultan Suryanullah diberikan seorang Arab yang pertama datang ke Banjarmasin, beberapa waktu setelah Pangeran Samudera diislamkan utusan Kesultanan Demak. Setelah mangkat Sultan ini mendapat gelar anumerta Panembahan Batu Habang atau Susuhunan Batu Habang, yang dinamai berdasarkan warna merah (habang) pada batu bata yang menutupi makamnya di Komplek Makam Sultan Suriansyah di Kelurahan Kuin, Kecamatan Banjarmasin Utara, Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

Nama lahirnya adalah Raden Samudera kemudian ketika diangkat menjadi raja di Banjarmasin oleh para patih (kepala kampung) di hilir sungai Barito, kemudian ia memakai gelar yang lebih tinggi yaitu Pangeran Samudera atau Pangeran Jaya Samudera.

Dia lebih terkenal dengan gelar Sultan Suriansyah, dari kata surya (matahari) dan syah (raja) yang disesuaikan dengan gelar dari Raden Putra (Rahadyan Putra) yaitu Suryanata (nata = raja) seorang pendiri dinasti pada zaman kerajaan Hindu sebelumnya.

Menurut naskah Cerita Turunan Raja-raja Banjar dan Kotawaringin alias Hikayat Banjar resensi I, Sultan Suryanullah merupakan keturunan ke-6 dari Lambung Mangkurat dan juga keturunan ke-6 dari pasangan Puteri Junjung Buih dan Maharaja Suryanata.

Maharaja Suryanata dijemput dari Majapahit sebagai jodoh Puteri Junjung Buih (saudara angkat Lambung Mangkurat). Sultan Suryanullah juga merupakan keturunan ke-3 dari Raden Sekar Sungsang.

Masjid Sultan Suriansyah, dekat makam Sultan Suriansyah di Kuin Utara, Kota Banjarmasin, Kalsel. (foto:ist)
Masjid Sultan Suriansyah, dekat makam Sultan Suriansyah di Kuin Utara, Kota Banjarmasin, Kalsel. (foto:ist)

Selain itu gelar lainnya yang dipakai adalah Suryanullah = matahari Allah, selanjutnya sultan-sultan Banjar berikutnya memakai kata Allah pada nama belakangnya, sedangkan nama belakang syah tidak pernah digunakan lagi oleh penerusnya.

Pada 24 September 1526 bertepatan 6 Zulhijjah 932 H, Pangeran Samudera memeluk Islam dan bergelar Sultan Suriansyah. Tanggal inilah yang dijadikan Hari Jadi Kota Banjarmasin.

Raden Samudera adalah putera dari Puteri Galuh Beranakan (Ratu Intan Sari) yaitu puteri dari Maharaja Sukarama dari Kerajaan Negara Daha. Dan nama bapaknya adalah Raden Mantri Alu, keponakan Maharaja Sukarama. Nama “Suriansyah” sering dipakai sebagai nama anak laki-laki suku Banjar.

Legitimasi politik yang muncul bagi masyarakat Banjar bahwa seorang raja atau calon pengganti raja mestilah putra tertua raja yang lahir dari ibu yang juga berdarah raja (putera gahara). Hal ini mengacu pada pasangan Suryanata dan Junjung Buih sebagai idealisasinya. Para tutus raja atau garis lurus keturunan raja-raja (dalam konsepsi Hinduistik) yang juga berarti tutus naga (dalam konsepsi religi asli), diyakini sebagai wakil dewa di dunia.

Tradisi ini dengan sendirinya menjadi sumber legitimasi politik bagi setiap penguasa yang silih berganti bertahta. Meskipun Kesultanan Banjar yang muncul pada abad ke-16 adalah Kerajaan Islam, namun tradisi politik yang diwariskan dari masa Negara Dipa itu ternyata tetap kuat mewarnai proses suksesinya.

Aturan ini rupanya sangat dipahami oleh Maharaja Sukarama, raja kedua Negara Daha (kelanjutan Negara Dipa). Diceritakan dalam Hikayat Banjar, raja ini mempunyai empat orang istri dan empat orang putra dan satu orang putri.

Mereka masing-masing adalah Pangeran Mangkubumi, Pangeran Tumanggung, Pangeran Bagalung, Pangeran Jayadewa, dan si bungsu perempuan bernama Putri Galuh Baranakan. Keempat istri raja tersebut rupanya tidak berdarah bangsawan, sehingga sang raja mengawinkan Putri Galuh Baranakan dengan putra saudaranya sendiri, Raden Bagawan, yang bernama Raden Mantri.

Pasangan ini (Galuh dan Mantri) kemudian mempunyai seorang anak bernama Raden Samudera. Maharaja Sukarama menganggap cucunya ini memiliki keturunan bergaris lurus (lahir dari kedua orang tua yang sama-sama berdarah raja), sehingga diputuskan sebagai penggantinya kelak. Meski anak-anaknya keberatan atas keputusan itu, tapi sang ayah bersikukuh: “Maski bagaimana kata angkau karna sudah ia si Samudera itu ringan bibirku” (Hikayat Banjar).(sumber; wikipedia.org/sir)

BACA JUGA

https://koranbanjar.net/sejarah-masjid-al-karomah-diawali-pembakaran-kampung-pasayangan/