Salah satu prasasti sejarah Banjarmasin, Tugu atau Monumen 9 November yang terletak di Jalan DI Panjaitan, tepatnya di depan halaman Kantor Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Banjarmasin, diusulkan bakal dipindah. Hal ini menimbulkan dilemma bagi ahli waris.
BANJARMASIN, koranbanjar.net – Kabar ini disampaikan salah satu ahli waris bernama Alimun Hakim. Dia anak kandung salah satu pejuang Muhammad Amin Effendy, seorang panglima laskar Barisan Pemberontakan Republik Indonesia Kalimantan (BPRIK) 9 November 1945.
“Isu yang berkembang di masyarakat memang begitu, dan hal itu sudah kami dengar sejak 5 tahun silam,” ujarnya kepada koranbanjar.net, Minggu(23/1/2021) di Banjarmasin.
Saat itu lanjut dirinya mengungkapkan, pada acara haul ayahnya (Muhammad Amin) di rumah peninggalan almarhum, juga dijadikan sebagai salah satu situs sejarah (cagar budaya) di Banjarmasin.
“Kala itu hadir juga pejabat Pemko lainnya, juga aparat keamanan, Korem, Kodim,” ucapnya.
Usai melaksanakan haul lanjutnya lagi, Walikota Ibnu Sina bersama unsur Forkopimda lainnya diajak ke tugu peringatan 9 November sekaligus perenungan.
“Ketika itu parkir mobil menutupi tugu itu, kata mereka wah ini semeraut, gimana nanti kalau kita pindah ke taman kantor gubernur baru, kata pak Walikota waktu itu,” cerita Alimun.
“Kami pun menanggapinya sambil guyon aja, kami bilang sangat setuju, dan sangat berterima kasih,” sambungnya.
Hingga sekarang pembicaraan spontan itu tidak dilanjutkan ke jenjang pembahasan lebih serius.
“Sebenarmya dilema juga, sebab almarhum ayah saya pernah berpesan kalau keberadaan tugu itu tetap di sana, jangan dipindah. Kata beliau karena disanalah pertempuran itu terjadi,” kenangnya.
Mengenang sosok pejuang H Muhammad Amin Effendy, seorang panglima laskar Barisan Pemberontakan Republik Indonesia Kalimantan (BPRIK) yang nyaris terlupakan. Padahal, sehari sebelum peristiwa heroik di Surabaya, 10 November 1945, pertempuran 9 November 1945 telah mendahului di Banjarmasin.
Dirinya tergabung dalam pergerakan Divisi IV ALRI ketika pecah peristiwa 9 November 1945 di Jalan Jawa (kini Jalan DI Panjaitan), depan Tangsi Polisi Belanda (kini Mapolda Kalsel) di Banjarmasin.
Pejuang Amin Effendy, kata putra dari panglima laskar BPRIK ini mengingatkan bahwa keluarga ayahnya turut berjuang dalam medan laga tersebut.
“Perlu digarisbawahi bahwa orang tua saya (Amin Effendy) memiliki 9 bersaudara, 5 laki-laki dan 4 perempuan,” sebutnya.
Kata Alimun, ayahnya meninggal dunia sejak 2007 lalu, hingga dimakamkan di Landasan Ulin, Taman Pahlawan Bumi Kencana Banjarbaru.
“Semua atas kebaikan dari pihak Kodam VI/Mulawarwan dan Korem 101/Antasari,” ucapnya.
Namun, Alimun mengenang, banyak yang jadi korban dari rentetan peristiwa hingga meledaknya aksi angkat senjata pada Jumat, 9 November 1945 itu.
“Sosok tante dan om saya itu bujang hingga meninggal dunia, karena tak bisa mengingat lagi dirinya. Karena tak waras, pengaruh dari medan perjuangan itu. Gangguan hati dan pikirannya, terganggu,” kenang Alimun.
Kesembilan saudara ayahnya, kata Alimun, juga korban dari kekejaman penjajahan Belanda, dilanjutkan tentara NICA-KNIL saat itu.
“Terakhir, ketika penangkapan ayah saya di Martapura dan kemudian dijebloskan di penjara (Pos Besar Belanda, kini Kantor Pos Jalan Lambung Mangkurat). Dan mengkhianati justru keluarga sendiri dari kelompok Polisi Belanda,” bebernya.(yon/sir)