Potret Kecil Pendulangan Intan di Desa Pumpung

DI ZAMAN kolonial Jepang, kawasan Desa Pumpung sebenarnya digunakan sebagai lokasi persawahan. Namun, sejak ditemukannya batu timahan atau tatimahan (batu yang biasa disebut teman dari intan) di desa tersebut oleh salah satu warga setempat, saat itulah kawasan desa di Kelurahan Sungai Tiung, Kecamatan Cempaka, yang berjarak sekitar 7 kilometer dari pusat Kota Banjarbaru itu menjadi tempat pendulangan intan, turun-temurun hingga kini. Sedangkan persawahan sebelumnya dianggap tidak cocok dengan tanah Desa Pumpung.

Laporan Jurnalis Koranbanjar.net, YULIANDRI KUSUMA WARDANI, Banjarbaru

Uniknya, menurut warga Desa Pumpung, Muhammad Aini, di kawasan pendulangan Desa Pumpung tak hanya berintan, namun juga ada emas. Bahkan dulunya kerap ditemukan batu amparan, batu yang mirip dengan berlian hitam.

“Pendulangan intan di sini sudah ada lebih dari 100 tahun, dan jarang ada pertambangan intan sekaligus emas berlokasi dalam satu kawasan yang sama,” ujar Aini saat ditemui koranbanjar.net di Desa Pumpung.

Pendulang intan yang kini sudah berusia 55 tahun itu menceritakan, aktivitas pendulangan intan dengan cara tradisional di Desa Pumpung dulunya dilakukan dengan peralatan yang lebih sederhana.

Penyangga tumpukan tanah agar tidak longsor hanya menggunakan tiang dari kayu. “Kalau sekarang kan sudah (semi) modern, alat sedotnya pun menggunakan mesin. Kira-kira sekitar 20 tahunan ini alat-alat lama mendulang sudah ditinggalkan,” katanya.

Padahal, menurut Aini, justru alat-alat pendulangan sederhana seperti dulu yang minim risiko dan tidak membahyakan dibanding dengan peralataan sekarang. Selain itu, peralatan pendulangan dulu menyisakan tanah yang utuh. Berbeda dengan peralatan saat ini yang merubah kawasan pendulangan hampir semuanya jadi kolam air.

“Dulu, dengan peralatan yang lebih sederhana tidak ada korban meninggal akibat longsor. Namun saat ini, sejak memakai peralatan lama tidak dipakai, korban tidak bisa terhitung lagi,” tuturnya.

Seorang pendulang, Jumli, sedang melinggang di kawasan pendulangan intan Desa Pumpung. (foto: yuli kusuma/koranbanjar.net)

Hingga kini, Aini masih aktif medulang. Namun di usianya yang sudah lebih dari setengah abad, risiko maut mendulang intan menjadi perhitungan yang lebih ia pertimbangkan. Jika mendulang, ia memilih cara aman dengan hanya mengambil limbahnya saja dan kemudian melinggangnya di atas.

Sedangkan untuk menutupi kebutuhan sehari-hari, Aini berjualan batu akik kepada para pengunjung atau wisatawan luar negeri yang datang ke Desa Pumpung.

“Karena kadang saya seharian mendulang tidak menghasilkan apa-apa jadi sambil menjual batu akik. Biasanya rata-rata turis luar yang sering datang ke sini hampir setiap hari,” kisahnya.

Diujung perbincangan bersama koranbanjar.net, meski mengakui mendulang intan di Desa Pumpung memiliki risiko tinggi dan telah banyak mengorbankan nyawa, namun Aini mengatakan, masyarakat tak mau pendulangan di Desa Pumpung ditutup.

”Mendulang di sini sudah jadi mata pencaharian warga secara turun-temurun, jadi mereka tetap mempertahankannya,” tandasnya. (*)