Tak Berkategori  

Petani Semangka Bukan Pembakar Lahan

Saat membuka lahan, petani semangka di wilayah Daha Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS) tidak pernah membakar, malah rumput liar dijadikan alas menanam.

Muhammad Hidayat, Daha Selatan

Hamparan rawa di wilayah yang dulunya merupakan pusat kerajaan Daha itu, saat kering di musim kemarau masyarakat sering memanfaatkannya untuk bertani semangka.

Tidak main-main, satu desa saja bisa menghasilkan ribuan ton sekali panen dalam setahun. Penjualannya sampai ke Banjarmasin ibukota Provinsi Kalsel, hingga ke Kalteng dan Kaltim.

Bukannya membakar saat membuka lahan yang ditumbuhi semak tinggi-tinggi, malah sejak dahulu masyarakat hanya menebasnya, yang kemudian disusun rapi di baris-baris lahan yang akan ditanami semangka.

Tujuannya menjadikan alas untuk tumbuhnya buah semangka nantinya. Seperti diungkapkan Gusriadi, Kepala Desa Muning Baru, Kecamatan Daha Selatan, jika tidak pakai alas rumput perkembangan dan pertumbuhan semangka kurang bagus.

Ia menambahkan, alas rumput berfungsi sebagai pengganti mulsa, untuk menjaga kelembaban tanah serta menekan pertumbuhan gulma dan penyakit. Alas rumput juga difungsikan sebagai kompos.

“Yang dijadikan alas hanya rumput sudah kering, jika alas dari rumput yang masih hidup tidak bagus juga untuk pertumbuhan semangka,” ujarnya.

Ada berbagai jenis rumput yang tumbuh dan dimanfaatkan itu, ketinggian rumput bahkan ada yang lebih dari satu meter.

Saking diperlukannya rumput sebagai alas, menurut Kasi Pemerintahan Desa Muning Baru Ahmad Zaki mengatakan, malah ada yang sengaja menumbuhkan rumput di lahan yang tidak ditumbuhi semak.

“Saat ini orang mudah membuat alas dengan menebas, dahulu ada yang namanya kumpai japun yang berduri, sehingga itu disingkirkan dengan cara menggulung rumput menggunakan tongkat kayu,” ucapnya. Saat ini rumput berduri itu hampir tidak ada lagi.

Jika musim kemarau sering terjadi kebakaran lahan, dan imbauan larangan membakar lahan terus dikampanyekan, tetapi Zaki menegaskan, petani semangka tidak mungkin membuka lahan dengan cara dibakar.

“Jika ada yang membakar lahan, mungkin ia tidak sedang berkebun semangka, atau malah berkegiatan lain” ujarnya lagi.

Ia menegaskan, tidak mungkin masyarakat membakar lahan yang terdiri dari rumput-rumput, sebab semuanya dimanfaatkan dalam proses penanaman.

Desa Muning Baru lebih 70 persen dari 1800 an jumlah penduduknya bertani semangka, hampir tidak ada pertanian tanaman lain, sekalipun ada yang bertani cabai dan tomat, hanya sebagai pendamping, yang menanamnya tepat berdampingan disisi kebun semangka.

Semua warga Desa Muning Baru bertani hanya di lahan yang ada di desa sendiri, tetapi ada juga warga desa lain yang memang memiliki lahan di Desa Muning Baru, dan juga bertani semangka.

mengenai proses dan kisah tradisi perkebunan semangka, akan dikisahkan dalam tulisan selanjutnya. (dra)