Perang Antargeng Berkecamuk di Haiti, 8.500 Warga Mengungsi

Seorang anak laki-laki berlari menjauh dari sebuah dealer mobil yang dibakar para pengunjuk rasa di Port-au-Prince, Haiti, 17 Maret 2021.(VOA)
Seorang anak laki-laki berlari menjauh dari sebuah dealer mobil yang dibakar para pengunjuk rasa di Port-au-Prince, Haiti, 17 Maret 2021.(VOA)

Berdasarkan m laporan UNICEF, perang antargeng di ibu kota Haiti dua minggu terakhir ini terus meningkat, sehingga memaksa hampir 8.500 perempuan dan anak-anak meninggalkan rumah mereka ke tempat yang lebih aman.

KORANBANJAR – Para pejabat mengatakan perebutan wilayah di Port-au-Prince telah memaksa ratusan keluarga meninggalkan rumah mereka yang terbakar atau digeledah di kawasan-kawasan pemukiman miskin. Banyak di antara mereka yang mengungsi ke stadion olahraga dan tempat penampungan sementara lainnya, kini kehabisan air bersih, makanan dan barang kebutuhan pokok seperti selimut dan pakaian.

Kantor berita Associated Press melaporkan Perwakilan Haiti di UNICEF, Bruno Maes dikutip VOA, mengeluarkan laporan pada Senin (14/6/2021). Dia membandingkan dampak situasi sekarang dengan perang gerilya.

“Faktanya adalah sejak hari pertama Juni ini kita menyaksikan kenaikan luar biasa aksi kekerasan yang menyebar ke Belropas, pemukiman di ibu kota, dan pertempuran di antara kelompok-kelompok bersenjata,” ujar Maes.

Menurut kantor PBB yang mengawasi koordinasi kemanusiaan, dalam sembilan bulan terakhir ini hampir 14 ribu orang di Port-au-Prince telah mengungsi akibat kekerasan.

Keluarga-keluarga yang memiliki anak kecil terpaksa tidur di lantai-lantai beton di gimnasium di pemukiman Carrefour, dengan hanya sehelai kain sebagai alas tidur, sementara barang-barang mereka yang tinggal sedikit ada di dalam tas di dekat mereka berada.

Banyak yang memperkirakan aksi kekerasan akan meningkat di Haiti menjelang pemilu yang dijadwalkan berlangsung pada September dan November. Mereka menuding kelompok-kelompok preman berupaya meningkatkan dukungan bagi kandidat-kandidat tertentu dan menarget pemukiman yang kerap menggelar demonstrasi menentang Presiden Jovenel Moise.

Direktur Eksekutif Jaringan Pertahanan HAM Haiti, Pierre Esperance, mengatakan geng-geng ini menguasai sekitar 60 persen wilayah negara itu. Ada 12 aksi pembantai dilaporkan terjadi sejak 2018 di komunitas yang kurang beruntung. Namun demikian, tambahnya, ia terutama sangat khawatir dengan peningkatan aksi kekerasan baru-baru ini.

Selain menyusup ke kota kumuh saingannya, dalam beberapa bulan ini geng-geng tersebut telah menarget kantor polisi dan menewaskan sejumlah petugas. Mereka juga menyerbu usaha-usaha warga dan menembaki sebuah dealer mobil sementara pelanggan dan karyawannya melarikan diri.

Kantor Terpadu PBB di Haiti mengatakan sangat prihatin dengan meningkatnya kekerasan antargeng dan menyerukan diakhirinya hal itu sehingga bantuan kemanusiaan dapat menjangkau mereka yang membutuhkan.

Organisasi nirlaba, Dokter Tanpa Tapal Batas (Doctors Without Borders) mengatakan pada 2-4 Juni lalu pusat layanan daruratnya di Martissant menerima lebih dari 40 pasien dengan luka tembak dan bahwa para petugasnya harus berlindung dari peluru nyasar.(koranbanjar.net)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *