Nestapa Adalah Mahar Bagi Rindu: Teruntuk Pian, Abah Haji

Berpulangnya KH. Ahmad Zuhdiannor atau yang akrab disebut Abah Haji, benar-benar memukul kondisi batin para pecintanya. Bukan karena tidak rela, hanya saja waktu dan kesempatan bersama yang terasa begitu singkat.

Memang benar sebuah ungkapan bahwa kematian adalah mahar yang harus dibayarkan untuk bertemu Sang Kekasih. Kini mahar telah tertunaikan, bertambahlah bilangan rindu yang harus dikelola dengan bijak.

Pengamal Rindu Terbaik

Setelah kabar berpulangnya Abah Haji tersebar, tampak begitu jelas bagaimana kecintaan berbalut kesedihan umat terhadap sosok sederhana dengan keluasan ilmu serta kedalaman pekerti itu.

Gelombang manusia seketika berbaris rapi tanpa komando. Mereka kompak berdatangan memenuhi jalanan menuju Masjid Jami Banjarmasin, salah satu masjid yang digunakan Abah Haji sebagai tempat berdakwah.

Saat ambulans yang membawa Abah Haji berjalan, seketika iring-iringan jamaah tak dapat terbendung memenuhi ruas jalan dari bandara Syamsudin Noor hingga Masjid Jami. Sebagian jamaah juga terlihat memadati sebuah masjid di Komplek Kota Citra Graha (KCG), karena sempat tersiar kabar bahwa sekitar tempat tersebut akan menjadi tempat peristirahatan terakhir Abah Haji.

Setelah diputuskan tempat pemakaman Abah Haji di belakang Masjid Jami, hujan pun turun deras hingga waktu menjelang sahur, tepat saat penulis sedang merangkai kata demi kata tulisan ini. Sungguh Allah SWT Maha Mengetahui bagaimana ukuran kesedihan setiap hamba-hambanya terhadap kehilangan yang mereka rasakan.

Hari Sabtu, 9 Ramadan 1441 Hijriah setidaknya ada delapan ulama yang tercatat pergi meninggalkan para pecinta mereka untuk menemui yang mereka cintai. Mereka ialah KH. Ahmad Zuhdiannor (Banjarmasin), KH. Husni Zamzam (Barabai, Hulu Sungai Tengah), Habib Abdullah bin Muhammad Al Athos (Tegal, Jawa Tengah), KH. Hasan Rumuzi bin KH. Saelan (Pekalongan, Jawa Tengah), Syarifah Sidah Al Aydrus (Solo, Jawa Tengah), Al Fadhil Ustadz Lukman Hakim Abdul Latif (Malaysia), Habib Hood bin Husein bin Alwy Al Haddad (Singapura), dan Habib Abdullah bin Ahmad bin Hadi As Segaf (Hadromaut, Yaman).

Ulama Arif lagi Mukhlis (Ikhlas)

Abah Haji memiliki tempat istimewa tersendiri di setiap hati para muridnya. Sosoknya yang ceria dan murah senyum membuat segala apa yang disampaikan Abah Haji mudah merasuk dan memenuhi relung hati para jamaah beliau.

Begitu mengenalnya beliau dengan kondisi kebatinan jamaah yang hadir, menjadi tanda bahwa beliau merupakan ulama yang arif (mengenal/memahami). Dalam keadaan bersamaan, Abah Haji dapat mencontohkan sebagai seorang hamba yang memahami betul bagaimana seharusnya jalinan hubungan vertikal (khalik – makhluk) Hablun Minallah serta hubungan horizontal (antar makhluk) Hablun Minannaas diimplementasikan dengan baik. Sosok guru yang selalu mengajarkan para murid dan jamaah tentang pentingnya berprasangka baik dan ikhlas terhadap takdir putusan Sang Pencipta.

Sikap sederhana yang sering ditunjukkan Abah Haji menjadi satu dari sekian banyak alasan untuk dirindukan, sikap yang tidak mudah dilakukan bagi seorang ulama seperti beliau.

Dalam setiap haul KH. Muhammad Zaini bin Abdul Ghani (Guru Sekumpul), bukan lagi menjadi pemandangan yang asing bagi para murid dan jamaah ketika mendapati beliau di barisan belakang sebagai relawan haul. Abah Haji juga kerap ikut menertibkan lalu lalang para jamaah yang datang. Beliau bahkan tidak sungkan ikut mengawah (mengaduk beras dalam wajan besar) untuk membuat nasi samin (makanan khas setiap haul).

Sikap yang dilakukan Abah Haji tersebut semata menunjukkan dan mengajarkan kepada siapapun yang melihat bahwa sampai kapanpun kedudukan seorang guru tidak akan pernah dapat tergantikan atau digantikan oleh murid.

Luka Menjadi Lebih Perih Saat Terkoyak

Fenomena kehilangan yang dialami para muhibbin, khususnya di Kalimantan Selatan, terjadi hampir setiap satu windu sekali. Dimulai dari 2005, saat para umat merindukan kesembuhan dari sakit yang diderita seorang ulama besar dengan derajat kewalian yang tinggi, justru Allah SWT menjadikan tahun itu menjadi duka cita luar biasa. KH. Muhammad Zaini bin Abdul Ghani wafat di usia 63 tahun pada Rabu, 5 Rajab 1426 Hijriyah, bertepatan dengan tanggal 10 Agustus 2005.

Delapan tahun berselang, tepatnya 2013, seorang ulama besar sekaligus da’i kondang, KH. Ahmad Bakeri atau yang lebih akrab disapa Guru Bakeri pun wafat. Pimpinan Pondok Pesantren Al-Mursyidul Amin di Gambut, Kabupaten Banjar itu, wafat di usia 54 tahun pada Jumat, 20 Rabi’ul Awal 1434 Hijriah, bertepatan dengan 1 Februari 2013.

Kemudian, saat kesedihan umat belum juga sirna dalam kurun waktu dua windu atau 16 tahun terakhir ini, justru pada sepertiga bulan suci pada tahun ini umat kembali harus menahan kepedihan bak luka yang kembali terkoyak.

Ahmad Zuhdiannor merupakan putera H. Muhammad bin Japeri. Beliau lahir pada 10 Februari 1972 dan wafat di usia 48 tahun pada Sabtu, 9 Ramadhan 1441 Hijriyah.

Pengalaman Penulis Dipertemukan

Penulis bertemu dengan Abah Haja pada bulan Syawwal 1439 Hijriah, atau tahun 2018. Saat itu penulis masih menjalankan amanah sebagai Ketua Pengurus Koordinator Cabang (PKC) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kalimantan Selatan.

Bersama beberapa jajaran pengurus inti dan sejumlah pengurus Korp PMII Puteri (KOPRI), penulis bermaksud menghadiri undangan halal bihalal di kediaman salah satu senior sekaligus tokoh PMII Kalimantan Selatan, Drs. H. Mohammad Tambrin, M.Pd.

Dia senior yang sarat pengalaman. Pernah menjadi leader di beberapa KUA, pernah menjabat sebagai Kepala Kemenag di Kabupaten Tanah Laut dan Kepala Kantor Wilayah Kemenag Kalimantan Selatan.

Dia pernah juga menjabat sebagai Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Ditjen Bimas Islam. Pada 26 Februari 2020 lalu, dia ditunjuk Menteri Agama RI sebagai Plt. Inspektur Jenderal (Irjen) Kemenag RI.

Pada momen halal bihalal itulah penulis dipertemukan pertama kali dan mendapatkan kesempatan bertemu Abah Haji. Beliau adalah sosok yang sungguh santun dan lembut. Beliau merupakan seorang guru yang selalu ingin berada dekat dengan murid-muridnya, dan selalu lebih dahulu meminta doa kepada orang yang beliau temui. Kami bersaksi, pian (anda) sungguh orang yang sangat baik wahai Abah Guru.

Akhirnya, biarlah nestapa ini menjadi milik kita. Anggap ini merupakan mahar dan bukti yang harus kita tunaikan dan kita persembahkan sepenuhnya untuk Abah Haji.

Nestapa ini mesti kita padukan dengan rindu yang terdahulu ada agar kelak menjadi tiket kita untuk dapat berkumpul kembali dengan beliau di tempat yang jauh lebih indah dari yang sekarang. (*)


Ditulis oleh: Muhammad Ramli Jauhari, Muhibbin/Pengagum Kesederhanaan KH. Ahmad Zuhdiannor bin H. Muhammad bin Japeri