Tak Berkategori  

Nabi Khidir Berusia 6.000 Tahun? Berikut Kisah di Dalam Alquran

Nabi Khidir alaihissalam dikenal dengan sosok Nabi yang misterius. Al-Khidr adalah nama yang diberikan kepada seorang nabi misterius dalam Surah Al-Kahf ayat 65-82. Siapa sesungguhnya Nabi Khaidi alaihissalam? Benarkah saat ini Nabi Khidir sudah berusia lebih dari 6.000 tahun? Nabi Khidir Banyak mengajarkan tentang ilmu hikmah dan kebijaksanaan kepada Nabi Musa, sebagaiman tercantum di dalam Alquran.

Dalam bukunya yang berjudul “Mystical Dimensions of Islam” oleh penulis Annemarie Schimmel, Nabi Khadir dianggap sebagai salah satu nabi dari empat nabi dalam kisah Islam dikenal sebagai ‘Sosok yang tetap Hidup’ atau ‘Abadi’. Tiga nabi lainnya yang juga masih hidup Nabi Idris, Nabi Ilyas, dan Nabi Isa.

Khadir abadi karena ia dianggap telah meminum air kehidupan, dikatakan bahwa Nabi Khadir telah berusia lebih dari enam ribu tahun. Dalam kisah literatur Islam, satu orang bisa bermacam-macam sebutan nama dan julukan yang telah disandang oleh Nabi Khidir.

Para cendikiawan menganggap Nabi Khidir dan mengkarakterkan sosoknya sebagai orang suci, nabi, pembimbing nabi yang misterius dan lain lain.

Al-Khadir secara harfiah berarti ‘Seseorang yang Hijau’ melambangkan kesegaran jiwa, warna hijau melambangkan kesegaran akan pengetahuan “berlarut langsung dari sumber kehidupan.”

Dalam situs Encyclopædia Britannica, dikatakan Nabi Khadir memiliki sebuah nama yang paling terkenal adalah Balyā bin Malkān. Menurut sebuah situs web, Nabi Khadir adalah sepupu Raja Dzul Qarnain dari pihak ibu. Menurut Ibnu Abbas, Khadir adalah seorang anak cucu Nabi Adam yang taat beribadah kepada Allah dan ditangguhkan ajalnya. Ibunya berasal dari Romawi sedangkan bapaknya keturunan bangsa Parsi.

Kemudian Mahmud al-Alusi menambahkan bahwa ia tidak membenarkan semua pendapat mengenai riwayat asal usul Nabi Khadir, tetapi An-Nawawi mengatakan bahwa ia adalah seorang putra raja.

Kisah Musa dan Khadir dituturkan dalam Al-Qur’an Surah Al-Kahf ayat 65-82. Menurut Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab menceritakan bahawa dia mendengar Nabi Muhammad bersabda: “Sesungguhnya pada suatu hari, Musa berdiri di khalayak Bani Israil lalu dia ditanya, “Siapakah orang yang paling berilmu?” Jawab Nabi Musa, “Aku” Lalu Allah menegur Nabi Musa dengan firman-Nya, “Sesungguhnya di sisi-Ku ada seorang hamba yang berada di pertemuan dua lautan dan dia lebih berilmu daripada kamu.”

Lantas Musa pun bertanya, “Wahai Tuhanku, dimanakah aku dapat menemuinya?” Allah pun berfirman, “Bawalah bersama-sama kamu seekor ikan di dalam sangkar dan sekiranya ikan tersebut hilang, di situlah kamu akan bertemu dengan hamba-Ku itu.” Sesungguhnya teguran Allah itu mencetuskan keinginan yang kuat dalam diri Nabi Musa untuk menemui hamba yang shalih itu. Di samping itu, Nabi Musa juga ingin sekali mempelajari ilmu dari Hamba Allah tersebut.

Nabi Musa kemudian menunaikan perintah Allah itu dengan membawa ikan di dalam wadah dan berangkat bersama-sama pembantunya yang juga merupakan murid dan pembantunya, Yusya bin Nun.

Mereka berdua akhirnya sampai di sebuah batu dan memutuskan untuk beristirahat sejenak karena telah menempuh perjalanan cukup jauh. Ikan yang mereka bawa di dalam wadah itu tiba-tiba meronta-ronta dan selanjutnya terjatuh ke dalam air. Allah SWT membuatkan aliran air untuk memudahkan ikan sampai ke laut. Yusya` tertegun memperhatikan kebesaran Allah menghidupkan semula ikan yang telah mati itu.

Selepas menyaksikan peristiwa yang sungguh menakjubkan dan luar biasa itu, Yusya’ tertidur dan ketika terjaga, dia lupa untuk menceritakannya kepada Nabi Musa Mereka kemudiannya meneruskan lagi perjalanan siang dan malamnya dan pada keesokan paginya, “Nabi Musa berkata kepada Yusya` “Bawalah ke mari makanan kita, sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini.” (Surah Al-Kahfi : 62)

”Ibn `Abbas berkata, “Nabi Musa sebenarnya tidak merasa letih sehingga baginda melewati tempat yang diperintahkan oleh Allah supaya menemui hamba-Nya yang lebih berilmu itu.” Yusya’ berkata kepada Nabi Musa,

“Tahukah guru bahwa ketika kita mencari tempat berlindung di batu tadi, sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak lain yang membuat aku lupa untuk menceritakannya kecuali syaitan dan ikan itu kembali masuk ke dalam laut itu dengan cara yang amat aneh.” (Surah Al-Kahfi : 63)

“Musa segera teringat sesuatu, bahwa mereka sebenarnya sudah menemukan tempat pertemuan dengan hamba Allah yang sedang dicarinya tersebut. Kini, kedua-dua mereka berbalik arah untuk kembali ke tempat tersebut yaitu di batu yang menjadi tempat persinggahan mereka sebelumnya, tempat bertemunya dua buah lautan.

“Musa berkata, “Itulah tempat yang kita cari.” Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula. (Surah Al-Kahfi : 64)

”Terdapat banyak pendapat tentang tempat pertemuan Musa dengan Khadir. Ada yang mengatakan bahawa tempat tersebut adalah pertemuan Laut Romawi dengan Parsia yaitu tempat bertemunya Laut Merah dengan Samudra Hindia. Pendapat yang lain mengatakan bahwa lautan tersebut terletak di tempat pertemuan antara Laut Roma dengan Lautan Atlantik. Di samping itu, ada juga yang mengatakan bahwa lautan tersebut terletak di sebuah tempat yang bernama Ras Muhammad yaitu antara Teluk Suez dengan Teluk Aqabah di Laut Merah.

Setibanya mereka di tempat yang dituju, mereka melihat seorang hamba Allah yang berjubah putih bersih. Nabi Musa pun mengucapkan salam kepadanya. Khadir menjawab salamnya dan bertanya, “Dari mana datangnya kesejahteraan di bumi yang tidak mempunyai kesejahteraan? Siapakah kamu” Jawab Musa, “Aku adalah Musa.” Khadir bertanya lagi, “Musa dari Bani Isra’il?” Nabi Musa menjawab, “Ya. Aku datang menemui tuan supaya tuan dapat mengajarkan sebagian ilmu dan kebijaksanaan yang telah diajarkan kepada tuan.”

Nabi Khadir menegaskan, “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup bersabar bersama-samaku.” (Surah Al-Kahfi: 67) “Wahai Musa, sesungguhnya ilmu yang kumiliki ini ialah sebahagian daripada ilmu karunia dari Allah yang diajarkan kepadaku tetapi tidak diajarkan kepadamu wahai Musa. Kamu juga memiliki ilmu yang diajarkan kepadamu yang tidak kuketahuinya.”

“Nabi Musa berkata, “Insya Allah tuan akan mendapati diriku sebagai seorang yang sabar dan aku tidak akan menentang tuan dalam sesuatu urusan pun.” (Surah Al-Kahfi : 69)

“Dia (Khadir) selanjutnya mengingatkan, “Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu pun sehingga aku sendiri menerangkannya kepadamu.” (Surah Al-Kahfi : 70)

Demikianlah seterusnya Nabi Musa mengikuti Nabi Khadir dan terjadilah beberapa peristiwa yang menguji diri Musa yang telah berjanji bahwa baginda tidak akan bertanya sebab sesuatu tindakan diambil Nabi Khadir. Setiap tindakan Nabi Khadir itu dianggap aneh dan membuat Nabi Musa terperanjat.

Kejadian yang pertama adalah saat Nabi Khadir menghancurkan perahu yang ditumpangi mereka bersama. Nabi Musa tidak kuasa untuk menahan hatinya untuk bertanya kepada Nabi Khadir. Nabi Khadir memperingatkan janji Nabi Musa, dan akhirnya Nabi Musa meminta maaf karena kalancangannya mengingkari janjinya untuk tidak bertanya terhadap setiap tindakan Nabi Khadir.

Selanjutnya setelah mereka sampai di suatu daratan, Nabi Khadir membunuh seorang anak yang sedang bermain dengan kawan-kawannnya. Peristiwa pembunuhan yang dilakukan Nabi Khadir tersebut membuat Nabi Musa tak kuasa untuk menanyakan hal tersebut kepada Nabi Khadir. Nabi Khadir kembali mengingatkan janji Nabi Musa, dan dia diberi kesempatan terakhir untuk tidak bertanya-tanya terhadap segala sesuatu yang dilakukan Nabi Khadir, jika masih bertanya lagi maka Nabi Musa harus rela untuk tidak mengikuti perjalanan bersama Nabi Khadir.

Selanjutnya mereka melanjutkan perjalanan hingga sampai di suatu wilayah perumahan. Mereka kelelahan dan hendak meminta bantuan kepada penduduk sekitar. Namun sikap penduduk sekitar tidak bersahabat dan tidak mau menerima kehadiran mereka, hal ini membuat Nabi Musa merasa kesal terhadap penduduk itu. Setelah dikecewakan penduduk, Nabi Khadir malah menyuruh Nabi Musa untuk bersama-samanya memperbaiki tembok suatu rumah yang rusak di daerah tersebut. Nabi Musa tidak kuasa kembali untuk bertanya terhadap sikap Nabi Khadir ini yang membantu memperbaiki tembok rumah setelah penduduk menzalimi mereka.

Akhirnya Nabi Khadir menegaskan pada Nabi Musa bahwa dia tidak dapat menerima Nabi Musa untuk menjadi muridnya dan Nabi Musa tidak diperkenankan untuk terus melanjutkan perjalannya bersama dengan Nabi Khadir.

Selanjutnya Nabi Khadir menjelaskan mengapa dia melakukan hal-hal yang membuat Nabi Musa bertanya. Kejadian pertama adalah Nabi Khadir menghancurkan perahu yang mereka tumpangi karena perahu itu dimiliki oleh seorang yang miskin dan di daerah itu tinggallah seorang raja yang suka merampas perahu miliki rakyatnya.

Kejadian yang kedua, Nabi Khadir menjelaskan bahwa dia membunuh seorang anak karena kedua orangtuanya adalah pasangan yang beriman dan jika anak ini menjadi dewasa dapat mendorong bapak dan ibunya menjadi orang yang sesat dan kufur. Kematian anak ini digantikan dengan anak yang shalih dan lebih mengasihi kedua bapak-ibunya hingga ke anak cucunya.

Kejadian yang ketiga (terakhir), Nabi Khadir menjelaskan bahwa rumah yang dinding diperbaiki itu adalah milik dua orang kakak beradik yatim yang tinggal di kota tersebut. Di dalam rumah tersebut tersimpan harta benda yang ditujukan untuk mereka berdua. Ayah kedua kakak beradik ini telah meninggal dunia dan merupakan seorang yang shalih. Jika tembok rumah tersebut runtuh, maka bisa dipastikan bahwa harta yang tersimpan tersebut akan ditemukan orang-orang di kota itu yang sebagian besar masih menyembah berhala, sedangkan kedua kakak beradik tersebut masih cukup kecil untuk dapat mengelola peninggalan harta ayahnya. Dipercaya tempat tersebut berada di negeri Antakya, Turki.

Akhirnya Nabi Musa sadar hikmah dari setiap perbuatan yang telah dikerjakan Nabi Khadir. Akhirya mengerti pula Nabi Musa dan merasa amat bersyukur karena telah dipertemukan Allah dengan seorang hamba Allah yang shalih yang dapat mengajarkan kepadanya ilmu yang tidak dapat dituntut atau dipelajari yaitu ilmu ladunni. Ilmu ini diberikan Allah SWT kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Nabi Khadir yang bertindak sebagai seorang guru banyak memberikan nasihat dan menyampaikan ilmu seperti yang diminta oleh Nabi Musa, dan Nabi Musa menerima nasihat tersebut dengan penuh rasa gembira.

Saat mereka di dalam perahu yang ditumpangi, datanglah seekor burung lalu hinggap di ujung perahu itu. Burung itu meneguk air dengan paruhnya, lalu Nabi Khadir berkata, “Ilmuku dan ilmumu tidak berbanding dengan ilmu Allah, Ilmu Allah tidak akan pernah berkurang seperti air laut ini karena diteguk sedikit airnya burung ini.”

Sebelum berpisah, Nabi Khadir berpesan kepada Nabi Musa: “Jadilah kamu seorang yang tersenyum dan bukannya orang yang tertawa. Teruskanlah berdakwah dan janganlah berjalan tanpa tujuan. Janganlah pula apabila kamu melakukan kekhilafan, berputus asa dengan kekhilafan yang telah dilakukan itu. Menangislah disebabkan kekhilafan yang kamu lakukan, wahai Ibnu `Imran.”

Dari kisah Khadir ini kita dapat mengambil pelajaran penting. Di antaranya adalah ilmu merupakan karunia Allah SWT, tidak ada seorang manusia pun yang boleh mengklaim bahwa dirinya lebih berilmu dibanding yang lainnya. Hal ini dikarenakan ada ilmu yang merupakan anugrah dari Allah SWT yang diberikan kepada seseorang tanpa harus mempelajarinya.

Hikmah yang kedua adalah kita perlu bersabar dan tidak terburu-buru untuk mendapatkan kebijaksanaan dari setiap peristiwa yang dialami. Hikmah ketiga adalah setiap murid harus memelihara adab dengan gurunya. Setiap murid harus bersedia mendengar penjelasan seorang guru dari awal hingga akhir sebelum nantinya dapat bertindak di luar perintah dari guru. Kisah Nabi Khadir ini juga menunjukan bahwa Islam memberikan kedudukan yang sangat istimewa kepada guru.

Tidak sedikit kalangan yang menyebutkan bahwa Nabi Khandir ini masih hidup sampai sekarang, bahkan sebagaimana penuturan di muka bahwa ada referensi yang mengatakan bahwa Nabi Khandir ini termasuk orang yang abadi setelah Ilyas, Ilyasa dan Nabi Isa. Tetapi, dalam keyakinan Islam dan dari para ulama Islam menyebutkan bahwa Nabi Khandir sudah meninggal sebelum Nabi Muhammad diutus menjadi rasul. Sebagaimana Firman Allah di Surah Al-Anbiya ayat 34 :

“Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusia pun sebelum kamu (Muhammad), maka jikalau kamu mati, apakah mereka akan kekal ?”

Dalam tafsir Ibnu Katsir disebutkan bahwa ayat ini merupakan hujjah atau argument bahwa Nabi Khandir telah meninggal dan tidak hidup sampai sekarang, hal ini karena Nabi Khandir adalah seorang manusia yang merasakan mati walaupun statusnya wali, nabi ataupun rasul Allah.

Berdasarkan dari sebuah artikel, di artikel tersebut dikutip pertanyaan seseorang kepada Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta tentang “Apakah Nabi Khidir (masih hidup) sebagai penjaga di sungai-sungai dan lembah-lembah?” Maka, jawaban Lajnah tersebut menyebutkan Surah Al-Anbiya ayat 34, diperkuat hadist yang menyebutkan bahwa orang yang berumur 100 tahun pada saat Rasulullah menyebutkan hadist ini sudah ada. Hadist tersebut berbunyi:

“Tidaklah kalian melihat pada malam kalian ini, bahwa sesungguhnya siapa yang umurnya (berkepala) seratus tahun tidak (tersisa) pada hari ini di atas permukaan bumi seorang pun.” (wikipedia.org/sir)