Tak Berkategori  

Mikrohidro, Penerang Malam Loksado Yang Akan Punah

Satu hingga dua dekade lalu, hutan pegunungan Meratus di Loksado gelap gulita saat malam tiba. Hanya sinar rembulan, lampu minyak tanah, sebagian lampu rumah dari energi matahari yang diserap dengan panel surya, dan listrik tenaga turbin air, yang biasa menemani nyanyian hutan.

Muhammad Hidayat, Loksado

Loksado bukan sekedar hutan alaminya saja yang menarik terus saya kunjungi. Tetapi juga kawasan yang sampai detik ini tidak terlayani jaringan 4G itu, memiliki penduduk dengan adat yang sangat kental. Meski begitu, mereka juga tak mengabaikan perkembangan zaman, salah satunya listrik.

Mikrohidro, Penerang Malam Loksado Yang Akan Punah

Saat ini, listrik negara, yang ujar para aktivis lingkungan ‘negara masih belum move on pada penggunaan bahan bakar fosil’, sudah berikspansi untuk penerangan hingga ke pelosok. Sebagian besar rumah penduduk di Kecamatan Loksado, sudah dijangkau jaringan listrik negara.

Bahkan jalanan utama sudah diterangi penerangan jalan umum (PJU), meski masih saja ada beberapa kilometer yang masih gelap.

Mikrohidro, Penerang Malam Loksado Yang Akan Punah

Jauh sebelum viral lagu ‘Entah Apa yang Merasukimu’, sejak tahun 90-an tiap kampung di Loksado memiliki Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) atau masyarakat hanya menyebut dengan mikrohidro.

Satu mikrohidro bisa menerangi lebih dari 30 buah rumah untuk penerangan saja, meskipun bisa juga dipaksakan untuk penggunaan berbagai macam alat elektronik, semisal televisi hingga kulkas, bagi mereka yang berjualan es.

Mikrohidro, Penerang Malam Loksado Yang Akan Punah

Pembangunan listrik demikian, atas inisiatif masyarakat mengumpulkan dana, membikin proposal ke pemerintah dari desa masing-masing, hingga bantuan dari kementerian terkait.

Prinsip kerjanya, air pegunungan yang mengalir dibendung, dibuat parit khusus untuk mengarahkan aliran air ke turbin, turbin berputar dan singkatnya menghasilkan tenaga listrik, meski hanya untuk malam hari. Kendati demikian, hal itu cukup menggembirakan masyarakat Meratus.

Mikrohidro, Penerang Malam Loksado Yang Akan Punah

Sayangnya, mikrohidro itu memiliki banyak kekurangan dengan atmosfer pegunungan Meratus. Jika musim kemarau kecepatan perputaran turbin menurun, sehingga daya listrik yang dihasilkan juga akan menurun.

Pun demikian saat musim hujan, pengelola kadang kewalahan menjaga turbin, kadang ada saja sampah, ranting hingga batang yang ikut hanyut di aliran air.

Perawatannya pun sangat susah, diungkapkan salah seorang pengelola mikrohidro di Desa Haratai, Sukran, seminggu sekali listrik dilakukan pemeliharaan, otomatis suplai listrik ke masyarakat juga diputuskan sementara.

Itu masih mendingan, saya pernah mengunjungi Desa Juhu yang berseberangan atas gunung dengan desa Haratai. Desa yang teritorialnya Kabupaten Hulu Sungai Tengah itu, saat siang hari mikrohodro dimatikan.

Bulan lalu, masyarakat di dusun Kadayang diributkan kerusakan mesin mikrohidro, hingga berhari-hari tanpa bisa menonton sinetron kesayangan.

Membeli sparepart harus memesan ke Banjarmasin, yang tentunya harganya tidak kurang dari 1 juta rupiah. Dari mana uangnya?

Jika di perkotaan masyarakat sering mengeluh saat listrik padam beberapa jam saja, bayangkan jika mereka jadi pelanggan mikrohidro di Meratus.

Banyak mikrohidro di Loksado yang kini tinggal fosil, di dusun Ulang kata warganya, sekitar dekade 90 an baru hitungan bulan beroperasi sudah hanyut seluruh alat terbawa banjir.

“Padahal itu katanya dulu konsultannya dari pulau Jawa, hanya saja mereka memperhitungkannya saat kemarau, tidak mengira ke-ekstriman Meratus saat musim hujan,” ucap salah satu pemuda Desa Ulang (maaf saya lupa namanya).

Saat ini yang masih beroperasi di Desa Haratai sekitar 4 unit mikrohidro, satu unit bantuan kementerian juga sudah tinggal fosil. Entah pemerintah sudah kehabisan akal, atau memang tidak ada cara lain mengatasi permasalahan itu, sehingga mikrohidro sebentar lagi akan punah.

“Mikrohidro, kami setiap bulan kena iuran 25 ribu rupiah per rumah. Sangat murah itu hanya untuk upah pengelola turbin yang berjibaku hujan dan panas,” ucap Innul, Kepala Dusun Kadayang Desa Haratai.

Saat saya menanyai beberapa warga di kampung berbeda-beda mengenai transisi dari mokrohidro, jawaban mereka beragam. Uliani di kampung Haratai mengaku masih akan berpikir, sebab masih nyaman dengan mikrohidro dengan kekurangannya.

Adapula yang menyambut antusias kedatangan PLN, dengan begitu bisa membeli peralatan elektronik tanpa khawatir daya tidak cukup. Kendati demikian, rata-rata mengatakan, masih memikirkan biaya pemasangan listrik yang dirasa susah terkumpul.

Semoga saja, saat sudah senang dengan listrik berbahan bakar fosil nanti, mereka tidak ‘ditagih’ bahan bakar yang mungkin saja ada di bawah kaki mereka. (*)