Tak Berkategori  

Metode “Ijtima Ulama” di Pilkada Banjar, Mengapa Tidak?

Oleh: Denny Setiawan

BERKACA dengan Pilpres 2019, paslon 02 telah menggulirkan “metode” Ijtima Ulama untuk memperoleh dukungan massa mayoritas. Andaikan saja, pemilih pilpres hanya berasal dari masyarakat Pulau Jawa, hampir dipastikan paslon 02 akan mendapatkan suara terbanyak dibanding paslon 01. Persoalannya adalah pemilih tidak hanya berasal dari Pulau Jawa, melainkan pemilih dari 32 provinsi yang di antaranya terdapat provinsi lain yang kontra dengan Ijtima Ulama.

Secara sederhana, langkah untuk mendapatkan dukungan terbanyak melalui Ijtima Ulama sesungguhnya langkah yang sangat jitu. Pemilih yang fanatik dengan tokoh-tokoh ulama tidak akan memalingkan pilihannya, kecuali pilihan yang ditentukan tokoh ulama panutan.

Nah, Kabupaten Banjar dikenal sebagai daerah yang sangat agamis, dengan penduduk yang notabene sangat fanatik dengan para tokoh ulama. Dengan kata lain, jika sebagian besar para tokoh ulama “merekomendasikan” salah seorang untuk mengikuti kontestasi Pilkada Banjar, maka hampir dipastikan seseorang tersebut bakal mendapatkan dukungan masyarakat yang maksimal hingga terpilih.

Pertanyaanya, apakah Ijtima Ulama perlu menentukan kepala daerah yang layak di Kabupaten Banjar? Tentu sangat perlu. Tidak mesti menggunakan istilah Ijtima Ulama, tetapi bisa pula dengan istilah “Kesepakatan Ulama” , “Pendapat Ulama” atau apapun namanya, mengingat Kabupaten Banjar dikenal agamis, Martapura sebagai Kota Santri, Kota Ulama, bahkan disebut kampung halamannya para ulama.

Fanatisme masyarakat Banjar terhadap sosok ulama dapat dilihat dari berbagai kegiatan keagamaan seperti haul-haul ulama besar. Mereka dengan sukarela datang mendermakan tenaga, harta untuk menghadiri acara-acara tersebut. Kecintaan masyarakat terhadap ulama menjadi modal yang sangat ekonomis bagi bakal calon kepala daerah yang dekat dengan para ulama. Mereka akan “mendermakan” suara dengan sukarela, tanpa disertai embel-embel lain.

Sebab itu, bakal calon Bupati Banjar, Wakil Bupati Banjar tidak harus dari kalangan ulama, terpenting adalah bakal calon yang maju merupakan rekomendasi dari para tokoh ulama. Bahkan jika perlu dituangkan dalam surat legitimasi formal, semisal mandat dari para ulama.

Dia bisa berasal dari kalangan tokoh pemuda, pengusaha, birokrat, tokoh politik, bahkan mungkin tokoh masyarakat biasa. Paling penting, dia memiliki akhlak yang bagus, berlatar belakang pendidikan yang mumpuni, bersih, memiliki visi dan misi membangun yang layak dijual, utamanya disukai dan dicintai para tokoh ulama.

Sekarang seperti yang diketahui, cukup banyak nama bakal calon kepala daerah yang digadang-gadang meramaikan Pilkada Banjar. Ada yang berasal dari kalangan tokoh pemuda, tokoh politik hingga kalangan ulama. Sebut saja, tokoh pemuda yang belakangan sedang menyelesaikan studi S3 Hukum Tata Negara, Andin Sofyan Noor, mantan Ketua DPRD Banjar HM Rusli, mantan anggota DPR RI Aditya Mufti Ariffin, kader PDIP Ahmad Rivani, kader Gerindra Ahmad Rofiqi, Sekdako Banjarbaru Said Abdullah, Wakil Bupati Banjar sekarang Saidi Mansyur, bahkan Bupati Banjar sekarang H Khalilurrahman yang dikabarkan juga akan tetap kembali maju sebagai Bupati Banjar akan datang sebagai petahana.

Sekarang tolak ukur menjadi salah satu kandidat kepala daerah di Kabupaten Banjar bukan lagi tentang dia seorang ulama, melainkan siapa gerangan yang direkomendasi para tokoh ulama. ([email protected])