LATAR BELAKANG sepertinya bukan mejadi sebuah pertimbangan penting untuk dapat menjadi seorang wakil rakyat. Coba perhatikan, menjelang Pileg 2019 mendatang, banyak masyarakat dari berbagai elemen yang sudah mulai mendaftarkan diri agar bisa menjadi caleg (calon legislatif).
Ada yang berlatar belakang tokoh agama, mantan pejabat, pengusaha, pensiunan ASN, TNI-Polri, hingga kalangan biasa. Seluruh parpol membuka kesempatan selebar-lebarnya kepada siapa pun yang berminat untuk menjadi seorang wakil rakyat yang “terhormat”.
Saya teringat sejarah di zaman Rasulullah, manakala Rasulullah wafat, para sahabat saling mengusulkan satu sama lain untuk menggantikan posisi beliau. Para sahabat Rasulullah Saw menyadari betul, mengemban amanah bukan lah perkara mudah.
Mereka saling menyebutkan, bahwa si A yang pantas dan terbaik, kemudian yang lainnya berkata si B yang pantas dan terbaik, hingga menemukan kesepakatan untuk menentukan salah seorang dari para sahabat yang jatuh kepada Sayyidina Abu Bakar Siddiq sebagai Khalifah pertama, menggantikan tampuk kepemimpinan setelah Baginda Rasulullah Saw wafat.
Keputusan itu tentu saja bukan disepakati tanpa pertimbangan, melainkan banyak alasan yang merujuk sehingga Khalifah Sayydina Abu Bakar As Siddiq yang terpilih. Selain sebagai mertua dari Baginda Rasulullah Saw, Abu Bakar Siddiq bergelar As Siddiq yang berarti orang yang paling benar, jujur dan dapat dipercaya.
Berkaca dengan sejarah tersebut, setidaknya seorang wakil rakyat atau pemimpin harus menjadikan sejarah itu sebagai panduan yang tepat. Sudah kah para calon legislatif mendatang menginstrospeksi diri sendiri? Dapat kah mereka menjadi teladan bagi masyarakat yang diwakilinya? Sejauhmana kecerdasan mereka agar bisa mewakili rakyat yang diwakili, jangan-jangan masih banyak yang lebih pintar dan cerdas dari mereka di kalangan masyarakat yang diwakili?
Menjadi seorang anggota DPR RI maupun DPRD bukan sekadar “pintar” merekrut atau memperoleh suara sebanyak-banyaknya. Setelah berhasil mengumpulkan suara masyarakat yang memilih, apakah siap menjalankan amanah tanpa harus menggores hati masyarakat yang diwakili?
Sayyidina Umar bin Khattab terbiasa berkeliling kampung, sambil memanggul karung gandum untuk dibagikan kepada umat yang fakir, hingga punggungnya terkelupas. Lalu bagaimana para anggota dewan kita sekarang? Mereka sibuk menyusun anggaran untuk berkeliling nusantara dan luar negeri. Itu contoh yang patut direnungi. Hati nurani para oknum anggota dewan sudah tertutup oleh kemilau kehormatan dan kekayaan.
Sejauh ini pertimbangan yang dominan sehingga banyak kalangan yang memutuskan untuk menjadi caleg karena tergiur oleh fasilitas yang akan didapat sebagai anggota dewan terhormat. Dapat “pelesiran” kemana-mana menggunakan fasilitas Negara dengan alasan kunker atau studi banding, memperoleh tunjangan perjalanan dinas, fasilitas kendaraan, tunjangan rumah dan lain-lain.
Pertimbangan lain, ingin meraih obsesi politik yang lebih besar di masa mendatang, kehormatan tanpa batas dan jabatan lebih tinggi. Mewujudkan kepentingan masyarakat hanyalah sebagai “jembatan” untuk meraih kepentingan pribadi, golongan yang lebih besar.
Andaikan pemerintah tidak menyediakan fasilitas untuk para anggota dewan, sebaliknya meminta anggota dewan untuk memberikan sumbangsih fasilitas bagi masyarakat yang diwakilinya, apakah kursi anggota dewan itu tetap akan menjadi rebutan? (*)